UU KUP No. 16 Tahun 2009

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 16 TAHUN 2009

                        TENTANG

       PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008
                TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
          TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG

                        DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.     bahwa dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, sangat mendesak untuk
    memperkuat basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan
    yang lebih stabil;
b.     bahwa pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
    Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
    sangat efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional;
c.     bahwa karena masih banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas pengurangan atau
    penghapusan sanksi administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1)
    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sehingga Presiden menetapkan Peraturan
    Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
    memberikan perpanjangan waktu yang merupakan langkah tepat untuk memperkuat basis perpajakan
    nasional;
d.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
    menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
    Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan menjadi Undang-Undang;

Mengingat :

1.     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
    Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
    Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
    Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
    Republik Indonesia Nomor 4740);


                         Dengan Persetujuan Bersama
                DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                        dan
                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG.


                        Pasal 1

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4953)
ditetapkan menjadi  Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.


                        Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                        Disahkan di Jakarta
                        pada tanggal 25 Maret 2009
                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                        ttd

                        DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO




Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA





                LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 62





                              PENJELASAN
                           ATAS

                  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 16 TAHUN 2009

                        TENTANG

      PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008
               TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
          TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG

I.    UMUM

    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan salah satu tonggak perubahan
    yang mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia. Undang-Undang ini disusun dengan tujuan
    antara lain untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak,
    meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta meningkatkan keterbukaan administrasi
    perpajakan dan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan
    negara dari sektor perpajakan.

    Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan
    ketentuan khusus yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk lebih terbuka dan jujur
    dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang telah lalu. Apabila Wajib Pajak menyampaikan
    pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 yang
    mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam
    jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
    Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan, Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa
    bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajaknya.

    Dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, sangat mendesak untuk memperkuat basis
    perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil.
    Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sangat
    efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional.

    Menjelang berakhirnya jangka waktu pemberian fasilitas pengurangan atau penghapusan sanksi
    administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
    Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan
    Umum dan Tata Cara Perpajakan, masih banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas
    dimaksud, namun mengalami kendala kurangnya waktu dalam mempersiapkan penyampaian
    pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, perlu segera memperpanjang jangka waktu pelaksanaan
    ketentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

    Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1)
    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia telah
    menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
    Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan.

    Berdasarkan amanat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
    maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
     Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
    Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.

II.     PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

        Cukup Jelas.

    Pasal 2

        Cukup Jelas.

           



            TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4999

====================================================================
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 28 TAHUN 2007

                               TENTANG

           PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
                  TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 

a.       bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
    Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang
    teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan material di bidang
    perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
b.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-
    Undang     tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
    Umum dan Tata Cara Perpajakan;

Mengingat:

1.     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
    1945;
2.          Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
    Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
    Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
    Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
    Negara Republik Indonesia Nomor 3984);


                          Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                           dan
                         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                            MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    
  
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.


                        Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:

a.          Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566);
b.          Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984), diubah sebagai berikut:

1.     Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

    1.      Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan    
        yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
        secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
        rakyat.
    2.       Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
        pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai  dengan  ketentuan
        peraturan  perundang-undangan perpajakan.
    3.         Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
        melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
        perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
        daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
        persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
        organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
        bentuk usaha tetap.
    4.         Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
        usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
        melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
        pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
    5.         Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
        dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
        Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
    6.         Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
        dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
        Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
    7.         Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
        menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
        sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
    8.           Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
        menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    9.           Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
    10.     Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
        dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
        perundang-undangan perpajakan.
    11.        Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
        penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/
        atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
        perpajakan.
    12.         Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
    13.        Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
        Bagian Tahun Pajak.
    14.       Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
        dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui
        tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
    15.      Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang
        Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau
        Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
    16.        Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
        besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
        pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    17.        Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
        menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    18.         Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
        pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
        kredit pajak.
    19.        Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
        kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
        terutang atau seharusnya tidak terutang.
    20.        Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
        administrasi berupa bunga dan/atau denda.
    21.         Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
    22.       Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
        ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
        Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
        dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
        di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang
        dikurangkan dari pajak yang terutang.
    23.       Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
        setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi
        dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
    24.       Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
        keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
        hubungan kerja.
    25.     Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/
        atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
        pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
        tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
        perpajakan.
    25.          Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
        benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi
        suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
        menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
    27.     Pemeriksaan Bukti Permulaan adaiah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
        permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
    28.        Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
        pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
        Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    29.       Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
        mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
        penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
        ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
        periode Tahun Pajak tersebut.
    30.       Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai ke!engkapan pengisian
        Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
        penulisan dan penghitungannya.
    31.       Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
        oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
        terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    32.       Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
        yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
        bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    33.      Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
        kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu da!am peraturan
        perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan
        Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
        Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
        Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
        Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
        Pemberian Imbalan Bunga.
    34.       Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan
        pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
        Wajib Pajak.
    35.       Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
        Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    36.        Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang
        berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
    37.        Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan
        kembali yang diajukan oteh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan
        Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
    38.         Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
        menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
    39.       Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
        imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
    40.      Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
        disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
        disampaikan secara langsung.
    41.          Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
        diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima
        secara langsung.

2.      Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 2

    (1)    Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
        ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
        Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
        kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
    (2)      Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
        Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
        Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
        kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
        Pengusaha Kena Pajak.
    (3)         Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
        a.    tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada
            ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
        b.       tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
            meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
            meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
            tertentu.
    (4)     Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
        Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
        melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
    (4a)      Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
        yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
        dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun
        sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai
        Pengusaha Kena Pajak.
    (5)       Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan
        Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (6)        Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
        a.      diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/
            atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
            dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
            perpajakan;
        b.           Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
        c.           Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
        d.           dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
            Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/
            atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (7)         Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
        permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak daiam jangka waktu 6 (enam) bulan
        untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak
        tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (8)        Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
        pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
    (9)      Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
        permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam)
        bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

3.     Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 2A

    Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan
    Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

4.           Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                       
                        Pasal 3

    (1)      Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
        dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang
        Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
        tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
        Jenderal Pajak.
    (1 a)    Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
        pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
        menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
        mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (1b)       Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa,
        dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya
        mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)        Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat
        Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil
        dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (3)       Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
        a.     untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
            Pajak;
        b.         untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang  pribadi,
            paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
        c.         untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling
            lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
    (3a)     Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu)
        Surat Pemberitahuan Masa.
    (3b)    Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (3c)      Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan
        oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (4)       Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
        Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan
        dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada
        Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (5)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan
        sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai
        bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (5a)    Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
        pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
    (6)        Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus
        dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (7)     Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
        a.     Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
        b.         Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen
            sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
        c.         Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga)
            tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan .
            Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
        d.         Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
            pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
    (7a)        Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.
    (8)       Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
        Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5.      Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 4

    (1)      Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
        jelas, dan menandatanganinya.
    (2)     Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
    (3)         Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi
        dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan
        pada Surat Pemberitahuan.
    (4)        Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasiian Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
        pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
        serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasiian Kena Pajak.
    (4a)    Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalan laporan keuangan dari
        masing-masing Wajib Pajak.
    (4b)      Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan
        Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap
        tidak lengkap dan tidak Jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
    (5)      Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.

6.     Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;


                        Pasal 6

    (1)        Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
        Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib
        Pajak diberikan bukti penerimaan.
    (2)         Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti
        pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (3)       Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan
        sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.

7.          Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 7

    (1)      Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan        
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda
        sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
        Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa
        lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan
        Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu rupiah) untuk
        Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
    (2)      Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
        dilakukan terhadap:
        a.      Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
        b.         Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
            pekerjaan bebas;
        c.         Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
            tinggal lagi di Indonesia;
        d.         Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
        e.         Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
            dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang beriaku;
        f.          Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
        g.         Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
            Menteri Keuangan; atau
        h.         Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

8.      Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 8

    (1)      Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
        disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal
        Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
    (1a)       Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan
        paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
    (2)       Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
        mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi
        berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
        dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
        pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) buian.
    (2a)       Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
        utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga
        sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak
        jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
        penuh 1 (satu) bulan.
    (3)         Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
        mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
        penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
        perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak
        yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus
        lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
    (4)         Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
        Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran
        sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
        Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
        mengakibatkan:
        a.         pajak-pajak yang masin harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
        b.         rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
        c.         Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
        d.         jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
            dilanjutkan.
    (5)       Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
        pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
        administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
        dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
    (6)      Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
        dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan,
        Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
        Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
        yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan
        Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima
        surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
        Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
        melakukan tindakan pemeriksaan.

9.         Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 9

    (1)       Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
        terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15
        (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
    (2)          Kekurangan pembayaran  pajak yang terutang  berdasarkan  Surat Pemberitahuan Tahunan
        Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
        disampaikan.
    (2a)        Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan
        setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi
        berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
        pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
        (satu) bulan.
    (2b)     Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
        dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai
        sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai
        dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan
        tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (3)          Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
        Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
        Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
        harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal    
        diterbitkan.
    (3a)       Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan
        yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (4)        Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
        mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
        sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
        pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

10.       Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 10

    (1)       Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
        Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (1a)      Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti
        pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang
        berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)          Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan
        menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

11.       Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 11

    (1)      Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa
        apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk
        melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
    (1 a)        Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat
        Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
        Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
        Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
        Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak
        dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
        diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
    (2)         Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
        (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan
        pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih
        Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat
        Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B,
        atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
        sebagamana dimaksud dalam Pasat 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat
        Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
        Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
        Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat
        Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan
        Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
    (3)        Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
        bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
        keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu
        sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian
        kelebihan.
    (4)        Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

12.        Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 12

    (1)      Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
        perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
        ketetapan pajak.
    (2)      Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
        Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
        undangan perpajakan.
    (3)       Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
        Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal
        Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

13.         Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi
    sebagai berikut:


                        Pasal 13

    (1)       Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa    
        Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
        Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
        a.       apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
            tidak atau kurang dibayar;
        b.           apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
            dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
            disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
        c.           apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
            Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
            seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
            tarif 0% (nol persen);
        d.           apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
            dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
        e.           apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
            dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
            dalam Pasal 2 ayat (4a).
    (2)         Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
        administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh
        empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
        Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
        Bayar.
    (3)         Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
        sebesar
        a.           50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
            dalam satu Tahun Pajak;
        b.           100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
            tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut
            tetapi tidak atau kurang disetor; atau
        c.           100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
            Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
    (4)        Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
        Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
        perpajakan apabila dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
        Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
    (5)         Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
        Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
        berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
        kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena
        melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
        menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
        mempunyai kekuatan hukum tetap.
    (6)          Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
        (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

14.          Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai
    berikut:


                        Pasal 13A

    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
    menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
    keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
    tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan
    Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumtah pajak yang terutang beserta
    sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
    dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

15.         Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 14

    (1)        Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

        a.        Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
        b.            dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
            tulis dan/atau salah hitung;
        c.        Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
        d.           pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
            membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
        e.            pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
            mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
            Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
            1.        identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
                Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;atau
             2.        identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
                Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan
                Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hat penyerahan dilakukan oleh
                Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
        f.         Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
            penerbitan faktur pajak; atau
        g.       Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
            Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang
            Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
     (2)         Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
        sama dengan surat ketetapan pajak.
    (3)       Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
        sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
        sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
        Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
    (4)      Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang,
        dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan
        Pajak.
    (5)        Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
        administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih
        kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
        Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
        bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (6)          Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
        Keuangan.

16.      Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 15

    (1)         Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
        dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
        Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
        mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
        pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
    (2)        Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
        persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
    (3)        Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
        Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
        Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
        tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        Tambahan.
    (4)         Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat
        Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
        administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak
        yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah Jangka waktu 5 (lima) tahun
        tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
        lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
        pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    (5)          Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

17.        Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 16

    (1)      Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
        membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan,
        Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
        Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
        Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
        Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya
        terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
        dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2)       Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
        permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan
        yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     (3)           Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur
        Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan
        tersebut dianggap dikabulkan.
    (4)          Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
        secara tertulis mengenai hat-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan
        sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

18.           Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17

    (1)         Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
        Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
        daripada jumlah pajak yang terutang.
    (2)         Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran
        pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat
        pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (3)          Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil
        pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang Iebih dibayar jumlahnya lebih besar
        daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.

19.        Ketentuan Pasal 17A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17A

    (1)          Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
        Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
        yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
        pembayaran pajak.
    (2)           Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.

20.          Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17B

    (1)        Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
        kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
        dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua
        belas ) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
    (1a)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang
        sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang
        ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)           Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur
        Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
        pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
        diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
    (3)          Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
        dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
        saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
    (4)          Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan,
        tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
        dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi
        diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang
        telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat
        Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2%
        (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak
        berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
        dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung
        penuh 1 (satu) bulan.

21.         Ketentuan Pasal 17C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17C

    (1)         Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
        kelebihan
        pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan
        Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
        diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
        permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
    (2)        Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
        a.         tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
        b.        tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
            yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
        c.         Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
            pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun
            berturut-turut; dan
        d.        tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
            berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
            jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
    (3)         Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
        Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
    (4)         Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
        pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
    (5)       Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
        Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak
        ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
        jumlah kekurangan pembayaran pajak.
    (6)         Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian
        pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
        a.        terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
            perpajakan;
        b.        terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2
            (dua) Masa Pajak berturut-turut;
        c.         terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3
            (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
        d.       terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
     (7)        Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan,

22.        Di antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17D dan Pasal 17E yang
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17 D

    (1)          Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
        kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan  tertentu, 
        menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3
        (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling
        lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
        Nilai.
    (2)        Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian
        pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
        a.      Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
        b.         Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
            jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
        c.         Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
            dengan jumlah tertentu; atau
        d.         Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
            Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan
            jumlah tertentu.
    (3)          Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana
        dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (4)        Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
        pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
    (5)       Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal
        Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar
        ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).


                        Pasal 17 E

    Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak
    di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
    Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
    Menteri Keuangan.

23.         Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 18

    (1)        Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
        Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
        Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
        masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
    (2)         Dihapus.

24.          Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 19

    (1)           Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
        atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
        dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah
        pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
        2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
        sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan
        bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)         Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga
        dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah
        pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (3)          Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
        dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan
        pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung
        dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya
        kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

25.     Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 20

    (1)         Atas Jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat 
        Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
        Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
        Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
        yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat
        Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2)           Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan
        sekaligus dilakukan apabila:
        a.         Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
            untuk itu;
        b.            Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
            dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan
            yang dilakukannya di Indonesia;
        c.         Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha 
            atau menggabungkan  atau  memekarkan  usaha,  atau memindahtangankan
            perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
            lainnya;
        d.       Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
        e.          Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
            tanda-tanda kepailitan.
    (3)        Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
        perundang-undangan perpajakan.

26.      Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 21

    (1)         Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung
        Pajak.
    (2)         Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak,
        sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
     (3)         Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
        a.          biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
            barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
        b.          biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
        c.             biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
            warisan.
    (3a)        Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau
        orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta
        Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur
        lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk memnbayar utang pajak Wajib Pajak
        tersebut.
    (4)        Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
        Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
        Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
    (5)        Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
        a.       dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
            waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
            pemberitahuan Surat Paksa; atau
        b.         dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran
            maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan
            diberikan.

27.      Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 22

    (1)          Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
        penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
        penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
        Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
        , Putusan Banding, serta Putusan
        Peninjauan Kembali.
    (2)        Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
        a.        diterbitkan Surat Paksa;
        b.            ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
        c.            diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
            13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
            dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
        d.          dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

28.    Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 23

    (1)        Dihapus.
     (2)        Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
        a.        pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
            Lelang;
        b.            keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
        c.           keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
            ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
        d.       penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
            penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
            ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada
            badan peradilan pajak.
    (3)        Dihapus.

29.      Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        
                        Pasal 24

    Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau
    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

30.      Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 25

    (1)         Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
        a.             Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
        b.            Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
         c.            Surat Ketetapan Pajak Nihil;
         d.             Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
         e.         Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
            peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2)       Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
        pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut
        penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
    (3)       Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
        ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
        tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
    (3a)        Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
        melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
        Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
     (4)          Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
        ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
    (5)        Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
        yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan
        melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
     (6)          Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
        Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
        pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
    (7)          Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada
        saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
        Surat Keputusan Keberatan.
    (8)         Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
    (9)         Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
        sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
        berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
        mengajukan keberatan.
    (10)    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda
        sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

31.      Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 26

    (1)           Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
        surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan,
    (2)           Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
        atau penjelasan tertulis.
    (3)           Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya
        atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    (4)        Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus
        dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
    (5)        Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur
        Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
        dikabulkan.

32.       Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai
    berikut:


                        Pasal 26A

    (1)          Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (2)        Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan
        keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
    (3)         Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses
        keberatan tetap dapat diselesaikan.
    (4)        Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
        dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi
        yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan,
        catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
        penyelesaian keberatannya.

33.       Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 27

    (1)         Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
        atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
    (2)           Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata
        usaha negara.
    (3)           Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
        Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan
        Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
    (4)           Dihapus.
    (4a)         Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur
        Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
        Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
    (5)        Dihapus.
    (5a)         Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang
        belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
        sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (5b)      Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
     (5c)          Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
        merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
    (5d)        Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
        administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan
        Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum
        mengajukan keberatan.
     (6)        Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2)
        diatur dengan undang-undang.

34.       Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 27A

    (1)         Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
        dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana
        dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
        Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
        dibayar     menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud
        dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
        paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
         a.          untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
            Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
            pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan,
            Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii; atau
        b.        untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
            sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
            Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii.
     (1a)        Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan
        Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
        Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
        kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
        a.            untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
            Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
            pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
            Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
            Ketetapan Pajak;
        b.    untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
            sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
            Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
            Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
        c.    untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
            kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
            Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
            Pembatalan Ketetapan Pajak.
    (2)    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih
        sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau
        bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan
        Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
        sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
        Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
    (3)    Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan
        bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

35.    Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 28

    (1)    Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
        Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
    (2)    Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi
        yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan
        peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto
        dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi
        yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
    (3)    Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad
        baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (4)    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
        latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
        bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
    (5)    Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel
        kas.
    (6)    Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan
        dari Direktur Jenderal Pajak.
    (7)    Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
        penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
        pajak yang terutang.
    (8)    Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
        diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
    (9)    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara
        teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar
        untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek
        pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
    (10)    Dihapus.
    (11)    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
        lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
        secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
        tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan
        Wajib Pajak badan.
    (12)    Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

36.    Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 29

    (1)    Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
        pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
        melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2)    Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa
        dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib
        Pajak yang diperiksa.
    (3)    Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
        a.    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
            dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
            kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
        b.    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
            dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;dan/atau
        c.    memberikan keterangan lain yang diperlukan.
    (3a)    Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana
        dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak
        permintaan disampaikan.
    (3b)    Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
        tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat
        dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung
        secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (4)    Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan
        yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka
        kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
        pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

37.    Ketentuan Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai
    berikut :


                        Pasal 29 A

    Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif
    oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan
    Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang :
    a.    Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 17B;atau
    b.    terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko dapat dilakukan pemeriksaan melalui
        Pemeriksaan Kantor.

38.    Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 30

    (1)    Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
        serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
        kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (3) huruf b.
    (2)    Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri keuangan.

39.    ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

   
                        Pasal 31
       
    (1)    Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)    Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya mengatur tentang
        pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
        pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir
        dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
    (3)    Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena
        pajak dilakukan     secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
        pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada
        Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
        ditentukan.

40.    Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 32

    (1)    Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
        undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
        a.    badan oleh pengurus;
        b.    badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
        c.    badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
            pemberesan;
        d.    badan dalam likuidasi oleh likuidator;
        e.    suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
            wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
        f.    anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
            pengampunya.
    (2)    Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau
        secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan
        dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar
        tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
    (3)    Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
        menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
        undangan perpajakan.
    (3a)    Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat
        (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (4)    Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
        orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
        mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

41.    Ketentuan Pasal 33 dihapus.


                        Pasal 33

    Dihapus.

42.    Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 34

    (1)    Setiap pejabat dilarang memberitahukan     kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
        atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
        untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2)    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
        ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
        peraturan perundang-undangan perpajakan.
    (2a)    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :
        a.    Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
            pengadilan;atau
        b.    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan
            keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
            berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
    (3)    Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
        supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
        Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (4)    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
        permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
        Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan
        memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (5)    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka
        atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
        perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

43.    Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

   
                        Pasal 35

    (1)    Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
        keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi
        , dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang
        dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang
        perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib
        memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
    (2)    Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
        merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana
        dibidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank,
        kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
    (3)    Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban
        merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.

44.    Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai
    berikut :


                        Pasal 35A

    (1)    Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan
        informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
        ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
    (2)    Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur
        Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan
        negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikan
        ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

45.    Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 36

    (1)    Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
        a.    mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
            kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
            perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
            bukan karena kesalahannya;
        b.    mengurangkan atau membatalkan suart ketetapan pajak yang tidak benar;
        c.    mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
            Pasal 14 yang tidak benar;atau
        d.    membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
            pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa :
            1.    penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;atau
            2.    pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
    (1a)    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat
        diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
    (1b)    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib
        Pajak 1 (satu) kali.
    (1c)    Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
        permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas
        permohonan yang diajukan.
    (1d)    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur
        Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
    (1e)    Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
        secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian
        permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
    (2)    Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), ayat (1e) diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

46.    Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

   
                        Pasal 36A

    (1)    Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan
        pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai
        dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)    Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
        kewenangannya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat
        diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan
        dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
        peraturan perundang-undangan.
    (3)    pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
        pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
        diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 368 Kitab undang-Undang
        Hukum Pidana.
    (4)    Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
        dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu,
        untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
        sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 Undang-undang
        Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya.
    (5)    Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
        melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
        perundng-undangan perpajakan.

47.    Di antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D
    yang berbunyi sebagai berikut :


                        pasal 36B

    (1)    Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
    (2)    Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal
        Pajak.
    (3)    Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai
        Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh komite Kode Etik yang ketentuannya diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


                        Pasal 36C

    Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan
    Peraturan Menteri Keuangan.


                        Pasal 36D

    (1)    Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
        Pendapatan dan Belanja Negara.
    (3)    Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
        dengan Peraturan Menteri Keuangan.

48.    Diantara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai
    berikut :


                        Pasal 37A
   
    (1)    Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
        Penghasilan sebelum Tahun  Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
        dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
        setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan
        sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran
        pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)    Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
        Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setalah berlakunya Undang-Undang ini
        diberikan penghapusan sanksi adminstrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk
        Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan
        pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan
        yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

49.    Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 38

    Setiap orang yang karena kealpaannya :
    a.    tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
    b.    menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap , atau
        melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
        pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang
        pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali
        jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
        pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
        bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

50.    Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 39

    (1)    Setiap orang yang dengan sengaja :
        a.    tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
            melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
        b.    menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
            Pengukuhan pengusaha Kena Pajak;
        c.    tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
        d.    menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
            atau tidak lengkap;
        e.    menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
        f.    memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen  lain yang palsu atau
            dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
        g.    tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
            memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
        h.    tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
            pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
            dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di
            Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau
        i.    tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
            menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
            paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
            sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
            banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
    (2)    Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali
        sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum
        lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
    (3)    Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
        atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
        Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat
        Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
        melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
        paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
        kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
        dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
        kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

51.    Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai
    berikut :


                        Pasal 39A
   
    Setiap orang yang dengan sengaja :
    a.    menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
        pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
        sebenarnya;atau
    b.    menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

    dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta
    denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
    pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam
    faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

52    Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 41

    (1)    Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
        denda paling banyak Rp.25.000.000.00 ( dua puluh lima juta rupiah).
    (2)    Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
        menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
        dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
        Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
    (3)    Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
        dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.

53.    Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 41A

    Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
    keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
    dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

54.    Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 41B

    Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
    perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
    Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

55.    Diantara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai
    berikut :


                        Pasal 41C

    (1)    Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
        paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
    (2)    Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan
        pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
        paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus
        juta rupiah).
    (3)    Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh
        Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan
        pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00
        (delapan ratus juta rupiah).
    (4)    Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
        menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
        tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

56.    Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 43

    (1)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
        kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
        melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
        perpajakan.
    (2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
        menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana
        di bidang perpajakan.

57.    Sebelum Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1(satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai
    berikut :

   
                        Pasal 43A

    (1)    Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang
        melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di
        bidang perpajakan.
    (2)    Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas
        Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di
        lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
    (3)    Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat
        Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana
        Korupsi.
    (4)    Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
        dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.

58.    Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 44

    (1)    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat pegawai
        Negeri Sipil tertentu dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
        sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
    (2)    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
        a.    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
            berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan
            tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
        b.    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
            badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
            pidana di bidang perpajakan;
        c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
            dengan     tindak pidana dibidang perpajakan;
        d.    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
            bidang perpajakan;
        e.    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
            dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
        f.    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
            pidana di bidang perpajakan;
        g.    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
            pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
            dan/atau dokumen yang dibawa;
        h.    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
        i.    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
            atau saksi;
        j.    menghentikan penyidikan;dan/atau
        k.    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
            bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
        menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi
        Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-Undang
        Hukum Acara Pidana.
    (4)    Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

59.    Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 44B

    (1)    Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
        dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka
        waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
    (2)    Penghentian penyidik tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar
        atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
        denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak
        seharusnya dikembalikan.


                        Pasal II
   
1.    Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007
    yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000.
2.    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa
    Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun
    Pajak 2013.
3.    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                            Disahkan di Jakarta
                            pada tanggal 17 Juli 2007
                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                            ttd.

                            DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA        






              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 85




                             PENJELASAN
                                ATAS

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 28 TAHUN 2007

                        TENTANG

             PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
            TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN


I.    UMUM

    1.    Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah
        Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
        menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
        kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara
        perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali
        dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan
        umum dan tata cara perpajakannya.

    2.    Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari
        bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
        Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
        pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta
        mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material
        di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan
        profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan,
        dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

    3.    Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang
        sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang ini dengan tetap
        menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan
        peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga
        masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan
        lebih baik.

    4.    Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
        dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
        ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
        a.    meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
            negara;
        b.    meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
            meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
            pengembangan usaha kecil dan menengah;
        c.    menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
            perkembangan di bidang teknologi informasi;
        d.     meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
        e.    menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
        f.    meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten;dan
        g.    mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

    Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
    negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan
    membaiknya iklim usaha.

II.    PASAL DEMI PASAL

    Pasal I

        Angka 1

            Pasal 1

                Cukup jelas.

        Angka 2

            Pasal 2

                Ayat (1)

                    Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
                    objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan
                    diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai
                    Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
                    Pajak.

                    Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan
                    ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak
                    Penghasilan 1984 dan perubahannya.

                    Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
                    menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk
                    melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan
                    Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

                    Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita
                    kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah
                    berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
                    berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

                    Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk
                    memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar
                    wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi
                    kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban
                    perpajakan suaminya.

                    Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam
                    administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
                    diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib
                    Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu,
                    Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga
                    ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
                    administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
                    perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok
                    Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
                    mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
                    dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
                    undangan perpajakan.

                Ayat (2)

                    Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak
                    Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
                    Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
                    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

                    Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
                    kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
                    tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan,
                    sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan
                    usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
                    wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat
                    kegiatan usaha dilakukan.

                    Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang
                    mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
                    Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk
                    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat
                    Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
                    tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal
                    Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
                    dilakukan.

                    Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
                    mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga
                    berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
                    Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta
                    untuk pengawasan administrasi perpajakan.

                    Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai
                    Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk
                    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai
                    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

                Ayat (3)
               
                    Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
                    Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat
                    Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2),
                    sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
                    Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

                    Seiain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu
                    Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar
                    di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai
                    toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan
                    diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
                    meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan
                    diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
                    meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.

                Ayat (4)
                               
                    Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
                    memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan
                    usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
                    pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat
                    dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh
                    Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau
                    Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh
                    Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
                    Kena Pajak.

                Ayat (4a)

                    Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak
                    dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
                     harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan
                    objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap
                    Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban
                    perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
                    hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan
                    kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk
                    memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
                     Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan
                    Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan
                    ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan
                    objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya
                    timbul terhitung sejak tahun 2005.

                Ayat (5)

                    Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
                    Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh
                    pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena
                    hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
                    mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu
                    pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan
                    penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan
                    pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau
                    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

                Ayat (6)
               
                    Cukup jelas.

                Ayat (7)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8)

                    Cukup jelas.
                               
                Ayat (9)
               
                    Cukup Jelas.

        Angka 3

            Pasal 2A

                Cukup jelas.

        Angka 4
   
            Pasal 3

                Ayat (1)

                    Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
                    adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung
                    jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan
                    untuk melaporkan tentang:
                    a.    pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
                        sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
                         lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
                    b.    penghasiian yang merupakan objek pajak dan/atau bukan
                        objek pajak;
                    c.    harta dan kewajiban; dan/atau
                    d.    pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
                        pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau
                        badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
                        ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
                               
                    Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
                    sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
                    penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
                    Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
                    melaporkan tentang:
                    a.    pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
                    b.    pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
                        sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak
                        lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
                        peraturan perundang-undangan perpajakan.

                    Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
                    adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung
                    jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

                    Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi
                    formulir Surat  Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam
                    bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan
                    petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
                    perundang-undangan perpajakan.

                    Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas
                    dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
                    a.    benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar
                        dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
                        perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan
                        yang sebenarnya;
                    b.    lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan
                        dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus
                        dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
                    c.    jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek
                        pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
                        Surat Pemberitahuan.
               
                    Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan
                    jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
                    tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
                    ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

                    Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau
                    pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.

                Ayat (1a)
               
                    Cukup jelas.

                Ayat (1b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib
                    Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor
                    Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan
                    oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau
                    oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil
                    Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses
                    situs Direktorat  Jenderal  Pajak  untuk  memperoleh  formulir  Surat
                    Pemberitahuan tersebut.

                    Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur
                    Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada
                    Wajib Pajak.

                Ayat (3)

                    Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
                    Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak
                    untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
                    pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.

                Ayat (3a)

                    Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha
                    kecil, dapat:

                    a.    menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
                        Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus
                        dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib
                        dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut
                        dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang
                        terakhir; dan/atau
                    b.    menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang
                        disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus
                        dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa
                        Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang
                        bersangkutan.

                Ayat (3b)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (3c)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak
                    dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang
                    te!ah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya
                    kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan
                    keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas
                    waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu
                    yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang
                    penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
                     dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau
                    dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik
                    kepada Direktur Jenderal PaJak.

                Ayat (5)

                    Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu
                    pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
                    harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat
                    Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
                    berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib
                    Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat
                    Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

                    Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan
                    pemberitahuan sementara denganmenyebutkan besarnya pajak yang
                    harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang
                    terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak
                    sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan
                    perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
                    Tahunan Pajak Penghasilan.

                Ayat (5a)

                    Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan
                    batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan
                    Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan
                    dapat diberikan Surat Teguran.

                Ayat (6)
               
                    Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
                    Pajak, antara lain untuk  melaporkan dan mempertanggung
                    jawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam
                    rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
                    pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan,
                    keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang
                    digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan
                    atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

                    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-
                    kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah
                    Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit
                    pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan
                    kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib
                    Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
                    harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan
                    laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
                    menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan
                    Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah
                    Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak
                    Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau
                    kelebihan pajak.

                Ayat (7)

                    Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya
                    adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat
                    Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib
                    Pajak yang disampaikan,  tetapi  tidak  dilengkapi  dengan  lampiran
                     yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan
                    dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian,
                    Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

                    Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang
                    menyatakan lebin bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah
                    berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan
                    Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat
                    Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak
                    melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, 
                    Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

                Ayat (7a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8)

                    Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
                    menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi
                    atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan
                    Wajib Pajak  Pajak  Penghasilan  yang  dikecualikan  dari  kewajiban
                    menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang
                    pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu
                    diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

        Angka 5

            Pasal 4

                Ayat (1)   

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4a)

                    Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib
                    Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing
                    Wajib Pajak.

                    Contoh:

                    PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut,
                    PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan
                    konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan
                    keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B
                    dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing,
                    bukan laporan keuangan konsolidasi.

                Ayat (4b)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (5)

                    Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat
                    hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian
                    tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar,
                    Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut
                    pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
                    Menteri Keuangan.

        Angka 6

            Pasal 6

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
                    sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain
                    bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
                    Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.

                Ayat (3)

                    Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat
                    Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti
                    penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap,
                    yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
                    ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).

        Angka 7

            Pasal 7

                Ayat (1)

                    Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
                    diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi
                    perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam
                    memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.

                Ayat (2)

                    Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh
                    Menteri Keuangan.

        Angka 8

            Pasal 8

                Ayat (1)

                    Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
                    dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan
                    pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal
                    Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud
                    dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat
                    Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib
                    Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah
                    dewasa dari Wajib Pajak.

                Ayat (1a)

                    Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5
                    (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
                    Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).

                Ayat (2)

                    Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas
                    kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang
                    terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi
                    berubah dari jumlah semula.

                    Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
                    tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
                    (dua persen) per bulan.

                    Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,
                    dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
                    Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan
                    bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud
                    dengan "1 (satu) bulan" adalah Jumlah hari dalam bulan kalender
                    yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai
                    dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan"
                    adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh,
                    misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.

                Ayat (2a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
                    dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah
                    dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan
                    kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya
                    terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
                    (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar,
                    terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.

                    Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
                    penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum,
                    kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
                    sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

                Ayat (4)

                    Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan
                    tetapi belum  menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib
                    Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat
                    Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
                    ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
                    disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau
                    Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa.
                    Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
                    tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan
                    keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak
                    yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran
                    laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
                    sampai selesai.

                Ayat (5)

                    Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi
                    berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
                    kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan
                    pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
                    dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan
                    pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang
                    sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat
                    diterbitkan surat ketetapan pajak.

                Ayat (6)

                    Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat
                    Keputusan  Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
                    Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak
                    yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang
                    telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun
                    berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan
                    penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat
                    Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
                    atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak
                    Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3
                    (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa
                    menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.

                    Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat
                    Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan
                    pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
                    Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
                     atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau
                    beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
                    yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam
                    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal
                    Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban
                    perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jeiasnya diberikan contoh sebagai
                    berikut:

                    Contoh 1:

                    PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:

                    Penghasilan Neto sebesar        Rp 200.000.000,00

                    Kompensasi kerugian berdasarkan
                    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan tahun 2007 sebesar        Rp 150.000.000,00 (-)
                                        __________________

                    Penghasilan Kena Pajak sebesar              Rp   50.000.000,00

                    Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
                    2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010
                    diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
                    sebesar Rp 70.000.000,00.
                    Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak
                    akan  mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008
                    menjadi sebagai berikut:

                    Penghasilan Neto            Rp 200.000.000,00
   
                    Rugi menurut ketetapan pajak
                    tahun 2007                         Rp   70.000.000.00 (-)
                                        __________________

                    Penghasilan Kena Pajak            Rp 130.000.000,00

                    Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan
                    yang semula
                    Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah
                    pembetulan menjadi
                    Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)

                    Contoh 2:

                    PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:

                    Penghasilan Neto sebesar        Rp 300.000.000,00

                    Kompensasi kerugian berdasarkan
                    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan Tahun 2007 sebesar        Rp 200.000.000.00 (-)
                                        __________________

                    Penghasilan Kena Pajak sebesar        Rp 100.000.000,00

                    Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
                    2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010
                    diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
                    sebesar Rp 250.000.000,00.

                    Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak
                    akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008
                    menjadi sebagai berikut:

                    Penghasilan Neto            Rp 300.000.000,00
                    Rugi menurut ketetapan pajak
                    tahun 2007                Rp 250.000.000.00 (-)
                                        __________________

                    Penghasilan Kena Pajak            Rp   50.000.000,00

                    Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan
                    yang semula
                    Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) setelah
                    pembetulan menjadi
                    Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 250.000.000,00).

        Angka 9

            Pasal 9

                Ayat (1)

                    Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
                    suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan
                    dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah
                    saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan
                    dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi
                    administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
                    undangan perpajakan.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2a)

                    Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran
                    atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga
                    tersebut diberikan contoh sebagai berikut:

                    Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008
                    sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008
                    dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008.
                    Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
                    sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
                    sebagai berikut:

                    1 x2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.

                Ayat (2b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
                    memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
                    pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran
                    Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
                    PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh
                    tempo pembayaran telah ditentukan.

                    Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama
                    12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-
                    benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

        Angka 10

            Pasal 10

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan
                    pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda
                    pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
                    Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan
                    pembayaran pajak dan administrasinya.

        Angka 11

            Pasal 11
                Ayat (1)

                    Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
                    terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih
                    lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
                    terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya
                    tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
                    kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut
                    tidak mempunyai utang pajak.

                    Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi
                    semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya,
                    kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu
                    dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih,
                    dikembalikan kepada Wajib Pajak.

                Ayat (1a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban
                    administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak
                    ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
                    a.    untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
                        dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal
                        diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian
                        kelebihan pembayaran pajak;
                    b.    untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
                        dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung
                        sejak tanggal penerbitan;
                    c.    untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
                        Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal
                        17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
                    d.    untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
                        Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
                        Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
                        Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
                         Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat
                        Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
                        penerbitan;
                    e.    untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan
                        Banding oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang
                        berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
                    f.    untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak
                        diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor
                        Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang melaksanakan
                        putusan pengadilan
                    sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
                    Kelebihan Pembayaran Pajak.

                Ayat (3)

                    Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib
                    Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap
                    keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak
                    dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
                    Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2%
                    (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1
                    (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan
                    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 12

            Pasal 12

                Ayat (1)

                    Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak
                    yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi
                    perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
                    a.    pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
                        pihak ketiga;
                    b.    pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong
                        oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas
                        kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas
                        pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
                        Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
                    c.    pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

                    Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun
                    yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
                    pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
                    Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara
                    melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
                    Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
                    ayat (1).

                    Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak
                    berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua
                    Surat Pembehtahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
                    suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak
                    tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
                    Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
                    dilaporkan oleh Wajib Pajak.

                Ayat (2)

                    Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah
                    menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara
                    benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak
                    perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.

                Ayat (3)

                    Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
                    yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
                    bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata
                    melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
                    besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan
                    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

        Angka 13

            Pasal 13

                Ayat (1)

                    Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal
                    Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
                    yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu
                    sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya
                    terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
                    keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau
                    kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret
                    yang diperoieh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain
                    berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak
                    Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
                    perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak
                    untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan
                    kurun waktu 5 (lima) tahun.

                    Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
                    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib
                    Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan
                    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

                    Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena
                    dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan
                    dari hasil  pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau
                    kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.

                    Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan,
                    dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak
                    Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal
                    Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib
                    Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak
                    tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk
                    memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat
                    dilakukan pemeriksaan.

                    Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya
                    walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan
                    dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat
                    Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
                    Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini
                    dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud
                    pada ayat (3).

                    Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan
                    kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan
                    alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat
                    Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force
                    majeur).

                    Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan
                    di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
                    Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang
                    dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi
                    administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
                    Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus person).

                    Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa
                    tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
                    sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah
                    pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
                    (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat
                    Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan,
                    yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya
                    diperoleh dari Wajib Pajak saja.

                    Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar
                    penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak
                    dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:

                    1.    pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
                        lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran
                        tidak jelas;

                    2.     dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga
                        angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau

                    3.    dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang
                        diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau
                        data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari
                        sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan
                        iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
                        pemeriksaan.

                    Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
                    diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

                Ayat (2)

                    Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan
                    kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi
                    administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2%
                    (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan
                    Pajak Kurang Bayar.

                    Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang
                    tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu)
                    bulan.

                    Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan
                    lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga
                    dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua)
                    tahun.

                    Contoh: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
   
                    Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun
                    Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat
                    Pemberitahuan tepat waktu.

                    Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan
                    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung
                    sebagai berikut:
                    1.    Penghasilan Kena Pajak        Rp 100.000.000,00
                    2.     Pajak yang terutang
                        (30% x Rp100.000.000,00)     Rp   30.000.000,00
                    3.     Kredit pajak            Rp   10.000.000.00 (-)
                                        ___________________

                    4.     Pajak yang kurang dibayar    Rp   20.000.000,00
                    5.     Bunga 24 bulan
                        (24 x 2% x Rp 20.000.000,00)    Rp     9.600.000,00 (+)
                                        ___________________

                    6.     Jumlah pajak yang masih
                        harus dibayar                Rp    29.600.000,00

                    Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
                    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor
                    pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi
                    administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
                    pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa
                    Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

                Ayat (3)

                    Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak
                    karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud
                    pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi
                    berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus
                    ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.

                    Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda
                    menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang
                    dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan
                    sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan
                    yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa
                    kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis
                    Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
                    sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).

                Ayat (4)

                    Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan
                    dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self
                    assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak,
                    berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya
                    Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat
                    ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan 
                    dalam  Surat  Pemberitahuan  Masa  atau  Surat Pemberitahuan
                    Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya
                    atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan
                    peraturan perundang-undangan perpajakan.

                Ayat (5)

                    Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana
                    di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan
                    negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat
                    ketetapan pajak.

                    Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar
                    melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan
                    melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari
                    5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang
                    disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum
                    tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib
                    Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan
                    penyelundupan yang dalam putusan pengadiian tersebut
                    menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai
                    pajak.

                    Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang
                    terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan
                    tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
                    dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
                    putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
                    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk
                    diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga  sebesar 48%
                    (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
                    kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
                    dimaksud pada ayat (1) dilampaui.

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.
               
        Angka 14

            Pasal 13A

                Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan
                kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama
                kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi
                pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.

                Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
                Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
                tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
                tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
                tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan
                Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan
                pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa
                kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
                dibayar.

        Angka 15

            Pasal 14

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.
               
                Ayat (2)

                    Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya
                    dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya
                    dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

                Ayat (3)

                    Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas
                    Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
                    a.    Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
                        dibayar; atau
                    b.    penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak
                        kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah
                        hitung.

                    Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:

                    1.    Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
                        dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan
                        sebesar Rp 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap
                        tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
                        dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.

                        Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
                        diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September
                        2008 dengan penghitungan sebagai berikut :

                        -    Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
                            Juni 2008
                            (Rp100.000.000,00-Rp 40.000.000,00)  

                                                  = Rp 60.000.000,00

                        -     Bunga = 3 x 2% x Rp 60.000.000,00
     
                                                 = Rp    3.600.000,00
                                            _______________

                        -    Jumlah yang harus dibayar      = Rp  63.600.000,00

                    2.    Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
                        Surat Pemberitahuan Tahunan  Pajak Penghasilan tahun
                        2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah
                        dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
                        menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar
                        Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan
                        tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal
                        12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut:

                        -    Kekurangan bayar
                            Pajak Penghasilan       = Rp1.000.000,00        
                        -    Bunga =
                            3 x 2%x Rp1.000.000,00 = Rp     60.000.00 (+)
                                            _______________

                        -    Jumlah yang harus
                            dibayar            = Rp 1.060.000,00

                Ayat (4)

                    Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun
                    Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak
                    tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai
                    sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari
                    Dasar Pengenaan Pajak.

                    Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur
                    pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang
                    sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
                    dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak,
                    sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.

        Angka 16

            Pasal 15

                Ayat (1)

                    Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
                    Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah
                    atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil
                    ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak
                    yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat
                    Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang
                    untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
                    dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
                    atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.

                    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi
                    atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak
                    Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah
                    diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk
                    menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu
                    dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya
                    diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan
                    ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                    Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan
                    berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
                    ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
                    juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan
                    pemeriksaan ulang.

                    Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
                    tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan
                    surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
                    Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru
                    termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
                    penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak
                    sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak
                    Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12
                    (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat
                    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam
                    hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum
                    terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data
                    yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat
                    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru
                    termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui
                    kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
                    Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

                    Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan
                    mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung
                    besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum
                    diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
                    Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam
                    pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

                    Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula
                    belum terungkap, yaitu data yang:
                    a.    tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
                        Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
                        keuangan); dan/atau
                    b.    pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
                        Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan
                        keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga
                        tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
                        peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar
                        dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

                    Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat
                    Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan,
                    tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan
                    cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
                    menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar
                    sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
                    seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
                    semula belum terungkap.

                    Contoh:

                    1.    Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan
                        tertulis adanya biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan
                        sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000.00
                        biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya
                        adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan
                        sebagai biaya.

                        Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
                        mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
                        melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan
                        atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat
                        dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa
                        sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
                        semula belum terungkap.

                    2.     Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan
                        disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan
                        tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
                        yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
                         penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
                        perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti
                        kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang
                        seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud
                        bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan
                        ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan
                        pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi,
                        sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
                        benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
                        menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak
                        benar, maka data tersebut termasuk data yang semula
                        belum terungkap.

                    3.    Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah
                        barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian
                        tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
                        faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan
                        untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
                        kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan
                        produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan
                        sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung.
                        Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak
                        Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

                        Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak
                        tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut
                        dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
                        pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai
                        akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak
                        dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui 
                        adanya data atau keterangan tentang kesalahan
                        mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai
                        hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data
                        atau keterangan tersebut merupakan data yang semula
                        belum terungkap.

                    Ayat (2)

                        Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata
                         masih ditemukan data baru termasuk data yang belum
                        terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar
                        penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih
                        dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
                        ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
                        (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.

                    Ayat (3)

                        Cukup jelas.

                    Ayat (4)

                        Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
                        pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
                        negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang
                        telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
                        Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan,
                        ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%
                        (empat puluh delapan persen) dari Jumlah pajak yang tidak
                        atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun
                        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.

                    Ayat (5)

                        Cukup jelas.

        Angka 17

            Pasal 16

                                        Ayat (1)

                    Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka
                    menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila
                    terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu
                    dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan
                    tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib
                     Pajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus
                    maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau
                    kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena
                    kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
                    a.    surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
                        Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                        Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
                        Pajak Lebih Bayar;
                    b.    Surat Tagihan Pajak;
                    c.    Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
                    d.    Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
                    e.    Surat Keputusan Pembetulan;
                    f.    Surat Keputusan Keberatan;
                    g.    Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
                    h.    Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
                    i.    Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
                    J.    Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

                    Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada
                    kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
                    a.    kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa
                        nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat
                        ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,
                        dan tanggal jatuh tempo;
                    b.    kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari
                        penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/
                        atau pembagian suatu bilangan; atau
                    c.    kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
                        peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan
                        dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase
                        Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
                        penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak
                        Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan
                        dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan
                        pajak.

                    Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan,
                    mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat
                    kesalahan dan kekeliruannya.

                    Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
                    kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
                    perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan
                    lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau
                    Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
                    jabatan.

                Ayat (2)

                    Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang
                    diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu
                    paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.

                Ayat (3)

                    Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur
                    Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib
                    Pajak dianggap dikabulkan.
               
                    Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur
                    Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai
                    dengan permohonan Wajib Pajak.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 18

            Pasal 17

                Ayat (1)

                    Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
                    diterbitkan untuk:
                    a.    Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar
                        daripada jumlah pajak yang terutang;
                    b.    Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih
                        besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat
                        pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
                        Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
                        jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang
                        dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;
                        atau
                     c.    Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak
                        yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
                        terutang.

                    Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah
                    dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan
                    Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar
                    yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan
                    pembayaran pajak.

                    Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih
                    Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
                    wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
                    Pasal 11 ayat (2).

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 19

            Pasal 17A

                Ayat (1)

                    Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan
                    untuk: 
                    a.     Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan
                        pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan
                        tidak ada kredit pajak;
                    b.    Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama
                        dengan jumlah paJak yang terutang, atau pajak tidak
                        terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak
                        yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
                        jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah
                        Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
                        Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
                    c.    Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak
                        yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
                        pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 20

            Pasal 17B

                Ayat (1)

                    Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara
                    lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

                    Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil
                    pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
                    pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
                    Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

                Ayat (1a)

                    Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti
                    permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan
                    bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
                    pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

                Ayat (2)

                    Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan
                    untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib
                    Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut
                    dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu
                    keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
                    Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan
                    tertib administrasi perpajakan.

                Ayat (3)

                    Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan
                    Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga
                    sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya
                    jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
                    saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian dari
                    bulan dihitung 1 (satu) bulan.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 21

            Pasal 17C

                Ayat (1)

                    Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
                    untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan
                    penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
                    Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
                    a.    3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan
                    b.    1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai

                    sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
                    Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam
                    Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
                    Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam
                    Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian
                    pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah
                    Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit
                    pajak.

                Ayat (2)
   
                    Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat
                    Pemberitahuan adalah:
                    a.    tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan
                        Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
                    b.    dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat
                        Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai
                        dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga)
                        Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
                        dan
                    c.    Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana
                        dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari
                        batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa
                        Pajak berikutnya.
                    Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah
                    keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum
                    melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian
                    tunggakan pajak.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak
                    dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan
                    terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian
                    pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan
                    pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
                    atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
                    Bayar.

                Ayat (5)

                    Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang
                    terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan
                    Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi
                    berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
                    kekurangan pembayaran pajak.

                    Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang
                    Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut
                    diberikan contoh sebagai berikut:

                    1)    Pajak Penghasilan

                        -    Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian
                            pendahuluan kelebihan pajak sebesar
                            Rp 80.000.000,00.

                        -    Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
                            a.    Pajak Penghasilan yang terutang sebesar
                                Rp100.000.000,00
                            b.    Kredit pajak, yaitu:
                                -    Pajak Penghasilan Pasal 22         
                                    Rp20.000.000,00
                                -    Pajak Penghasilan Pasal 23         
                                    Rp40.000.000,00
                                -    Pajak Penghasilan Pasal 25          
                                    Rp90.000.000,00

                            Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
                            Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
                            penghitungan sebagai berikut:

                            -    Pajak Penghasilan yang terutang sebesar 
                                            Rp 100.000.000,00
                            -    Kredit Pajak:

                                - Pajak Penghasilan
                                  Pasal 22         Rp   20.000.000,00

                                - Pajak Penghasilan
                                  Pasal 23          Rp   40.000.000,00

                                - Pajak Penghasilan
                                  Pasal 25                Rp   90.000.000.00
                                            ________________
                                            Rp 150.000.000,00

                                - Jumlah Pengembalian
                                  Pendahuluan Kelebihan
                                  Pajak            Rp   80.000.000.00
                                            ________________

                                - Jumlah pajak yang
                                  dapat dikreditkan    Rp   70.000.000.00
                                            ________________

                                  Pajak yang tidak/
                                  kurang dibayar          Rp   30.000.000,00
                               
                                  Sanksi administrasi
                                  berupa kenaikan
                                  sebesar 100%        Rp   30.000.000.00
                                            ________________
                                  Jumlah yang masih
                                  harus dibayar          Rp   60.000.000,00

                    2)    Pajak Pertambahan Nilai

                        -    Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh
                            pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
                             Rp 60.000.000,00.

                        -    Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
                            a.    Pajak Keluaran        Rp 100.000.000,00
                            b.    Kredit pajak, yaitu Pajak
                                Masukan         Rp 150.000.000,00

                        Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
                        Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
                        sebagai berikut:
                        -    Pajak Keluaran            Rp 100.000.000,00

                        -    Kredit Pajak:
                            - Pajak Masukan                        Rp 150.000.000,00

                            - Jumlah Pengembalian
                              Pendahuluan Kelebihan Pajak    Rp   60.000.000.00
                                            ________________

                            - Jumlah pajak yang dapat
                              dikreditkan              Rp   90.000.000.00
                                            ________________

                               Pajak yang kurang dibayar    Rp   10.000.000,00

                               Sanksi administrasi kenaikan
                               100%                Rp   10.000.000.00
                                            ________________

                               Jumlah yang masih harus
                               dibayar                    Rp   20.000.000,00

                Ayat (6)

                     Cukup jelas.

                Ayat (7)

                    Cukup jelas

        Angka 22

            Pasal 17D

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan
                    percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur
                    Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan
                    pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

                Ayat (5)

                    Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang
                    terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
                    pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
                    jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi
                    administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
                    jumlah kekurangan pembayaran pajak.

            Pasal 17E

                Cukup jelas.

        Angka 23

            Pasal 18

                Ayat (1)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (2)

                    Dihapus.

        Angka 24

            Pasal 19

                Ayat (1)

                    Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
                    berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak
                    atau kurang dibayar pada saatjatuh tempo pelunasan atau
                    terlambat dibayar.

                    Contoh:

                    a.    Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat
                        Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00
                        yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas
                        akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah
                        pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008
                        Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008
                        diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai
                        berikut:

                        Pajak yang masih harus dibayar    = Rp 10.000.000,00

                        Dibayar sampai dengan jatuh
                        tempo pelunasan         = Rp   6.000.000.00 (-)
                                           __________________

                        Kurang dibayar             = Rp    4.000.000,00
           
                        Bunga 1 (satu) bulan
                        (1 x 2% x Rp4.000.000,00)     = Rp         80.000,00

                    b.    Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                        sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar
                        Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada
                        tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
                        sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:

                        Pajak yang masih harus dibayar    = Rp    10.000.000.00

                        Dibayar setelah jatuh tempo
                        pelunasan                   = Rp    10.000.000.00
                                            _________________

                        Kurang dibayar            = Rp               0,00

                        Bunga 1 (satu) bulan
                        (1 x 2% x Rp10.000.000,00)     = Rp           200.000,00

                Ayat (2)

                    Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
                    dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
                    pembayaran pajak.

                    Contoh:

                    a.    Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                        sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal
                        2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal
                        1 Februari 2009. Wajib  Pajak tersebut diperbolehkan  untuk 
                        mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5
                        (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
                        Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk
                        setiap angsuran dihitung sebagai berikut:

                        angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00 = Rp 22.400,00.
                        angsuran ke-2 : 2% x Rp   896.000.00 = Rp 17.920,00.
                        angsuran ke-3 : 2% x Rp   672.000,00 = Rp 13.440,00.
                        angsuran ke-4 : 2% x Rp   448.000.00 = Rp   8.960.00.
                        angsuran ke-5 : 2% x Rp   224.000,00 = Rp   4.480,00.

                    b.    Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
                        diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai
                        dengan tanggal 30 Juni 2009.
                        Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan
                        pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut
                        sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 25

            Pasat 20

                Ayat (1)

                    Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai
                    dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan
                    tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak
                    memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan
                    dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
                    undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa
                    tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.

                Ayat (2)

                    Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah
                    tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
                    kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
                    pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
                    pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 26

            Pasal 21

                Ayat (1)

                    Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
                    yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang
                    milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
                    Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak
                    dilunasi.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jeias.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

        Angka 27
   
            Pasal 22

                Ayat (1)

                    Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
                    kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

                     Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat
                    Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal
                    Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan,
                    banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5
                    (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
                    Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
                    Putusan Peninjauan Kembali.

                Ayat (2)

                    Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
                    a.    Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan
                        Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak
                        melakukan pembayaran hutang pajak sampai dengan
                        tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu,
                        daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal
                        pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
                    b.    Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan
                        cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan
                        pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo
                        pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan
                        pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran
                        atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh
                        Direktur Jenderal Pajak.
                    c.    Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
                        Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan
                        terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak
                        pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang
                        dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan
                        pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
                        Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
                        sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
                    d.     Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana
                        di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung
                        sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak
                        pidana di bidang perpajakan.

        Angka 28

            Pasal 23

                Ayat (1)
       
                    Dihapus.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Dihapus.

        Angka 29

            Pasal 24

                Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan
                besarnya jumlah  piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain
                karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta
                warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses
                pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek
                pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui
                cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang
                akan dapat ditagih atau dicairkan.

        Angka 30

            Pasal 25

                Ayat (1)

                    Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak,
                    dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
                    mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
                    Direktur Jenderal Pajak.

                    Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari
                    ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
                    perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau
                    pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan
                    "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan
                    terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun
                    Pajak.

                    Contoh:

                    Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan
                    Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu)
                    surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut
                    harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

                Ayat (2)

                    Yang  dimaksud  dengan  "alasan-alasan  yang  menjadi  dasar
                    penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri
                    dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau
                    bukti pemotongan.

                 Ayat (3)

                    Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu
                    3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
                    sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
                    dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak
                    mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan
                    surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas
                    waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak
                    karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur),
                    tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat
                    dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.

                Ayat (3a)

                    Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan
                    bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah
                    kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada
                    saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus
                    dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.

                Ayat (4)

                    Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat
                    sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat
                    keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak
                    diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.

                Ayat (5)

                    Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai
                    Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda
                    terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat
                    sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu
                    penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat
                    dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat
                    sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam
                    batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu
                    penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya
                    yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.

                Ayat (6)

                    Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang
                    kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak,
                    penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang
                    telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak
                    berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.

                Ayat (7)

                    Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera
                    dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu)
                    bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
                    Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi
                    administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana
                    diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang
                    belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.

                Ayat (8)

                    Cukup jelas.

                Ayat (9)

                    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian
                    dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah
                    pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
                    yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi
                    paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
                    Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
                    apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping
                    itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
                    50% (lima puluh persen).

                    Contoh:

                    Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                    (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar 
                    sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
                    pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya
                    menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar
                    Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB
                    tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
                    keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak
                    mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
                    yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
                    Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi
                    sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai
                    dengan ayat ini, yaitu sebesar
                    50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.

                Ayat (10)

                    Cukup jelas.

        Angka 31

            Pasal 26

                Ayat (1)

                    Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak,
                    kewenangan  penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada
                    Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu
                    penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan
                    paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
                    diterima.

                    Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas
                    keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum
                    bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran
                    ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan
                    terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat
                    ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib
                    Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun
                    telah ditegur secara tertulis,  tidak  memenuhi  kewajiban 
                    menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan
                    kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu
                    yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan
                    besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak
                     dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara
                    jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
               
                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

        Angka 32

            Pasal 26A

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib
                    Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian
                    keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat
                    ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan
                    keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.

                Ayat (3)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 33

            Pasal 27

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)
                   
                    Dihapus.

                Ayat (4a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5)
                   
                    Dihapus.

                Ayat (5a)

                    Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan
                    banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding
                    tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
                    Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak
                    menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
                    (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak
                    diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
                    pengajuan keberatan.

                Ayat (5b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5c)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5d)

                    Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
                    sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi
                    dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
                    harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
                    Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan
                    dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak
                    tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
                    berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana
                    dimaksud pada ayat ini.

                    Contoh:

                    Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
                    (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar 
                    sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
                    pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya
                    menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar
                    Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB
                    tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
                    keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak
                    mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
                    yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.

                    Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh
                    Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus
                    dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik
                    sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
                    bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
                    administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat
                    (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
                    berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar
                    100% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000.00)=Rp250.000.000,00.

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.

        Angka 34

            Pasal 27A

                 Ayat (1)

                    Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan
                    Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
                    dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
                    Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat
                    Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan
                    kelebihan pembayaran pajak.

                Ayat (1a)

                    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan,
                    pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau
                    Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian
                    atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar
                    sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat
                    Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
                    pajak,  kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan
                    ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
                    paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

                Ayat (2)

                    Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat
                    Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4)
                    dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat
                    Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
                    Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau
                    penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.

                    Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat
                    dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
                    Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
                    Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut,
                     yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 35

            Pasal 28
               
                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jetas.

                Ayat (5)

                    Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
                    pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
                    penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
                    pembukuan misalnya dalam penerapan:
                    a.    stelsel pengakuan penghasilan;
                    b.    tahun buku;
                    c.    metode penilaian persediaan; atau
                    d.    metode penyusutan dan amortisasi.

                    Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
                    biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya
                    diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan
                    penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

                    Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan
                    penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
                    pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan
                    metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
                    operate and transfer (BOT) dan real estat.

                    Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
                    atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.

                    Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
                    apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu
                    periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila
                    benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.

                     Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi
                    atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran
                    yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
                    pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni,
                    penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat
                    pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan
                    pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
               
                    Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
                    penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu
                    besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan
                    mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu,
                    untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
                    harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut.
                    1)    Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
                        meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
                        bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
                        diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan.
                     2)    Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-
                        hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan
                        dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan
                        dan amortisasi.
                     3)    Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
                        (konsisten).

                    Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
                    dapat juga dinamakan stelsel campuran.

                Ayat (6)

                    Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas,
                    yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam
                    hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode
                    kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode
                    penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih
                    dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari
                    Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus
                    diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimuiainya tahun
                    buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis
                    dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
                    tersebut.

                    Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
                    dalam prinsip  taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari
                    kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode
                    pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya
                    dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
                    aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

                    Contoh:

                    Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan
                    "garis lurus atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib
                    Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
                    menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining
                    balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih
                    dahulu kepada Direktur jenderai Pajak yang diajukan sebelum
                    dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan
                    dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
                    perubahan tersebut.

                    Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya
                    jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu,
                    perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur
                    Jenderal Pajak.

                    Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib
                    Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
                    kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
                    sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang
                    bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6
                    (enam) bulan pertama atau lebih.

                    Contoh:

                    a.    Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah
                        Tahun Pajak 2008.
                    b.    Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September
                        2009 adalah Tahun Pajak 2009.

                Ayat (7)

                    Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasal 1 angka 29.
                    Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan
                    pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
                    Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya
                    juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak
                    Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat
                    dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah
                    harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor,
                    jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
                    Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena
                    Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
                    pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah
                    pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang
                    dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
                   
                    Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
                    atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan
                    Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang
                    perpajakan menentukan lain.

                Ayat (8)

                    Cukup jeias.

                Ayat (9)

                    Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
                     usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
                    bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka
                    yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
                    pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasitan bruto,
                     pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
                    Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan
                    yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat
                    final.

                Ayat (10)
           
                    Dihapus.

                Ayat (11)

                    Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara
                    program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang
                    menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama
                    10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila
                    Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak,
                    bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap
                    ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
                    penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
                    pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
                    mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana
                    di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen
                    yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
                    termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line
                    harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,
                    kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

                Ayat (12)

                    Cukup jelas.

        Angka 36

            Pasal 29

                Ayat (1)

                    Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan
                    pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan
                    pemeriksaan untuk:
                    a.    menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
                        Wajib Pajak; dan/atau
                    b.    tujuan lain dalam rangka mslaksanakan ketentuan
                        peraturan perundang-undangan perpajakan.

                    Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau
                    di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
                    pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis
                    pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu
                    maupun untuk tahun berjalan.
               
                    Pemeriksaan dapat dilakukan torhadap Wajib Pajak, termasuk
                    terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut
                    pajak atau pemotong pajak.

                    Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan
                    kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri
                    kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan
                    pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
                    keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.

                    Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain,
                    di antaranya:
                    a.    pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
                    b.    penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
                    c.    pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
                        Pajak;
                    d.    Wajib Pajak mengajukan keberatan;
                    e.    pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan
                        Penghasilan Neto;
                    f.    pencocokan data dan/atau alat keterangan;
                    g.    penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
                    h.    penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak
                        Pertambahan Nilai;
                    J.    pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
                    j.    penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan
                        fasilitas perpajakan; dan/atau
                    k.    pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra
                        Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

                Ayat (2)

                    Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas
                    identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki
                    tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
                    Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang
                    diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
                    dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.

                    Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang
                    cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam
                    menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan
                    jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif
                    serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

                    Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada
                    bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan
                    peraturan perundang-undangan perpajakan.

                    Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak
                    dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
                    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

                Ayat (3)

                    Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa
                    sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan
                    dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan
                    pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam
                    rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan.

                    Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan
                    dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik
                    (electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri
                    maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus
                    memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses
                    dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain
                    yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
                    usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang
                    pajak.

                    Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki
                    kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
                    memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat
                    penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
                    petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan
                    peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.

                    Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain
                    buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan
                    keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau
                    keterangan lisan.

                    Keterangan tertulis misalnya:

                    a.    surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
                    b.    keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan
                        sesuai dengan aslinya;
                    c.    surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
                    d.    surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
               
                    Keterangan lisan misalnya:

                    a.    wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
                    b.    wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
                    c.    wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi
                         yang bersifat khusus.

                Ayat (3a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang
                    diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan,
                    dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak
                    dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa
                    kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.

        Angka 37

            Pasal 29A

                Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak
                yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak
                dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor.
                Dengan  Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana
                dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat
                mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan
                 Lapangan.

                Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan
                jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak
                melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat
                oleh Akuntan Publik.

            Pasal 30

                Ayat (1)

                    Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak
                    memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b,
                    yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
                    memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
                    bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat
                    disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada
                    di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada
                    pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
                    perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

                    Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi
                    kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan
                    barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data
                    yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna
                    kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan
                    pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk mernperoleh buku, catatan,
                     dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-
                    benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha
                    atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu
                    memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
                    dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap
                    tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.

                    Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk
                    mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk
                    data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang
                    dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan
                    bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan,
                    dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.

                    Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan
                    kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang
                    berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.
Angka 39
               
            Pasal 31
       
                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak
                    dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara
                    pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban
                    menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada
                    Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam
                    pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang
                    ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu
                    yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan
                    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 40

            Pasal 32

                Ayat (1)

                    Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil
                    untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
                    terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam
                    pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan
                    anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
                    pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang
                    menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak
                    mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.

                Ayat (2)

                    Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam
                    Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara
                    renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat
                    dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib
                    Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam
                    kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin
                    dimintai pertanggungjawaban.

                Ayat (3)

                    Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak
                    untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah
                    perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu
                    melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

                     Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan
                    material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan daiam
                    peraturan perundang-undangan perpajakan.

                    Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa
                    khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi
                    kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan
                    ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
                   
                 Ayat (3a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
                    kebijaksanaan dan/atau  mengambil  keputusan dalam rangka
                    menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
                    menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
                    dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya
                    dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun
                    akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan
                    dalam ayat ini berlaku pula bagi kornisaris dan pernegang saham
                    mayoritas atau pengendali.

        Angka 41

            Pasal 33

                Dihapus.

        Angka 42

            Pasal 34

                Ayat (1)

                    Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang
                    melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan
                    kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan,
                    antara lain:
                    a.    Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
                        dilaporkan oleh Wajib Pajak;
                    b.    data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan
                        pemeriksaan;
                    c.    dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga
                        yang bersifat rahasia;
                    d.    dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan
                        ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.

                Ayat (2)

                    Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk
                    oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-
                    undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang
                    dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

                Ayat (2a)

                    Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak
                    dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias
                    Wajib Pajak meiiputi:
                    1.    nama Wajib Pajak;
                    2.    Nomor Pokok Wajib Pajak;
                    3.    alamat Wajib Pajak;
                    4.    alamat kegiatan usaha;
                    5.    merek usaha; dan/atau
                    6.    kegiatan usaha Wajib Pajak.
                       
                    Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meiiputi:
                    a.    penerimaan pajak secara nasional;
                    b.    penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal 
                        Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
                    c.    penerimaan pajak perjenis pajak;
                    d.    penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
                    e.    jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak
                        terdaftar;
                    f.    register permohonan Wajib Pajak;
                    g.    tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
                    h.    tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
                        Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.

                Ayat (3)

                    Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan,
                    penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan
                    instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau
                    tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
                    tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

                    Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
                    dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan
                    nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk
                    memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau
                    tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara
                    terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.

                Ayat (4)

                    Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam
                    perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
                    perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan
                    memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
                    pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
                    dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.

                Ayat (5)

                    Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan
                    perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau
                    perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang
                    perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.

        Angka 43

            Pasal 35

                Ayat (1)

                    Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
                    perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak
                    ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor
                    administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan
                    dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
                    pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang
                    perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang
                    diminta.

                    Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang
                    dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa
                    konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
                    memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
                    peraturan perundang-undangan perpajakan.

                Ayat (2)

                    Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas
                    permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah
                    tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
                    memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
                    keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat
                    pajak.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 44

            Pasal 35A

                Ayat (1)

                    Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban
                    perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment,
                    data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang





                    bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak
                    lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan
                    informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau
                    badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran
                    usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan,
                    termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi
                    keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
                    keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang  disampaikan
                    kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.

                    Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata
                    cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal
                    Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                Ayat (2)

                    Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang
                    diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain
                    belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur
                    Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang
                    berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu
                    peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban
                    perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang
                    kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.

        Angka 45

            Pasal 36

                Ayat (1)

                    Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan
                    kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak
                    yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak
                    memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi
                    administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
                    ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur
                    Jenderal Pajak.

                    Setain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas
                    permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat
                    mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak
                    benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya
                    karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
                    keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material
                    terpenuhi.

                    Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat
                    dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal
                    Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.

                    Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak,
                    Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan
                    Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang
                    dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
                    pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
                    pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak
                    tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai
                    dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak
                    dapat dipertimbangkan.

                Ayat (1a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1c)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1d)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1e)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup Jelas.

        Angka 46

            Pasal 36A

                Ayat (1)

                    Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan
                     profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan
                    undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan
                    sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai
                    dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada
                    pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
                    peraturan perundang-undangan.

                Ayat (2)

                    Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak,
                    misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang
                    kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah
                    melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
                    Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai
                    pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana-
                    Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana
                    korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak
                    pidana korupsi.

                    Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan
                    pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit
                    internal Departemen Keuangan.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5)

                    Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan
                     iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan
                    tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga,
                    kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi,
                    dan/atau nepotisme.

        Angka 47

            Pasal 36B

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

            Pasal 36C

                Cukup jelas.

            Pasal 36D            

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)
               
                    Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang
                    dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan
                    Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 48

            Pasal 37A

                Ayat (1)

                    Cukup Jelas.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 49

            Pasal 38

                Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib
                Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai
                sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat
                Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
                perpajakan dikenai sanksi pidana.

                Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
                merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana
                di bidang perpajakan.

                Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
                Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan
                dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang
                dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau
                kurang mengindahkan kewajibannya sehingga  perbuatan tersebut dapat
                menimbuikan kerugian pada pendapatan negara,

        Angka 50

            Pasal 39

                Ayat (1)

                    Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
                    dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat
                    pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.

                    Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang
                    dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau
                    menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau
                    menyalahgunakan atau  menggunakan tanpa hak  Pengukuhan
                    Pengusaha Kena Pajak.

                Ayat (2)

                    Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
                    perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana
                    di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya
                    menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan,
                    dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali
                    menjadi 2  (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).

                Ayat (3)

                    Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
                    Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian
                    Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
                    dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau
                    kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat
                    merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak
                    pidana tersebut merupakan delik tersendiri.

        Angka 51

            Pasal 39A

                Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi
                yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai.
                Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak
                merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang
                sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti
                pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan
                dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
                dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa
                penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti
                pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
                transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.

        Angka 52

            Pasal 41

                Ayat (1)

                    Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak
                    akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam
                    memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka
                    pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi
                    pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
                    terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.

                    Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
                    dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau
                    kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan
                    keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang
                    dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan
                    tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpa).

                Ayat (2)

                    Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
                    dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat
                    dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan
                    karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati
                    untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

                Ayat (3)

                    Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
                    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
                    menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib
                    Pajak.

        Angka 53

            Pasal 41A

                Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak
                sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak
                ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud
                dalam Pasal ini.

        Angka 54

            Pasal 41B

                Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
                penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi
                penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan
                bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.

        Angka 55

            Pasal 41C

                Ayat (1)

                    Cukup Jeias.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas,

                Ayat (3)

                    Cukup jetas.

                Ayat (4)

                    Cukup Jelas.

        Angka 56

                        Pasal  43

                Ayat (1)

                    Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang
                    perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak,
                    kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan
                    Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh
                    melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
                    yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 57

                        Pasal 43 A

                Ayat (1)

                    Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh
                    Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui
                    kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat
                    ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan,
                    atau tidak ditindaklanjuti.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 58 
            
                        Pasal 44

                Ayat (1)

                    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
                    Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana
                    di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik
                    tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana
                    di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
                    dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

                Ayat (2)

                    Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
                    di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak
                    pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan.
                    Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak
                    maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat
                    berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain
                    yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 59

            Pasal 44B

                Ayat (1)

                    Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri
                    Keuangan,  Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
                    pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum
                    dilimpahkan ke pengadilan.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

    Pasal II

        Cukup jelas.




                  TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4740

No comments:

Post a Comment