Penjualan Aktiva Tetap (Objek Pasal 16D UU PPN)

Jangan disangka kalau PPN itu hanya dikenakan terhadap barang-barang baru (all new product). Sebab ternyata, barang bekas pun bisa terutang PPN jika dialihkan ke pihak lain. Ini yang oleh Pasal 16D UU PPN disebut dengan penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Sebelum mulai membahas soal ini, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu Undang-Undang (UU) PPN yang berlaku di Indonesia. Ini penting karena dalam tulisan ini ada beberapa UU PPN yang akan disebut, yaitu:
  • UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Ini adalah UU PPN pertama yang mulai diberlakukan pada 1 April 1985 hingga kerap disebut dengan istilah UU PPN 1985. UU PPN 1985 berlaku hingga akhir tahun 1994.
  • UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. UU ini biasa disebut dengan UU PPN 1994 dan berlaku hingga akhir tahun 2000.
  • UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. UU ini berlaku hingga 31 Maret 2010 dan biasa disebut dengan UU PPN 2000.
  • UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sekarang lebih sering disebut dengan UU PPN 2009 dan mulai berlaku sejak 1 April 2010 hingga saat ini.

PPN Pasal 16D Sebelum 1 April 2010

Pengenaan PPN atas aktiva bekas mulai diperkenalkan saat UU PPN 1994 diberlakukan. Dalam UU PPN 1994, aktiva bekas ini diistilahkan dengan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, dikatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. Dari kalimat itu, dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) syarat pengenaan PPN Pasal 16D pada masa itu, yakni: jenis aktivanya, pihak yang melakukan penyerahannya, dan PPN (Pajak Masukan/PM) yang dahulu dibayar saat perolehan aktiva yang sekarang akan diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak lain.
  1. Aktiva yang Diserahkan: Aktiva yang diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak lain adalah aktiva yang menurut tujuan semula dibeli tetapi tidak untuk diperjualbelikan. Banyak orang menyebutnya dengan istilah ‘non-inventory asset’ atau aktiva selain barang dagangan. Misalnya inventaris kantor, kendaraan dinas, mesin pabrik, dlsb, yang dahulu kita beli dengan maksud untuk digunakan dalam aktivitas operasional sehari-hari dan bukan untuk diperdagangkan. Tetapi karena sudah rusak atau dengan alasan lain ingin kita ganti dengan yang baru, maka inventaris kantor yang lama kemudian kita jual (atau diserahkan kepada pihak lain).
  2. Pihak yang Menyerahkan: Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva bekas sudah dikukuhkan sebagai PKP. Artinya jika penyerahan aktiva bekas dilakukan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP (Non-PKP), maka atas penyerahan aktiva bekas tersebut tidak terutang PPN Pasal 16D.
  3. PM atas Perolehan Aktiva: Di Pasal 16D UU PPN 1994 tersebut ada kalimat “…sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Pajak Pertambahan Nilai yang dimaksud di sini adalah Pajak Masukan (PM) yang dahulu kita bayar waktu kita memperoleh aktiva tersebut, apakah PM itu menurut UU dan peraturan PPN dapat dikreditkan atau tidak. Jika PM tersebut menurut UU dan peraturan PPN dapat dikreditkan, maka sepanjang kedua syarat di atas terpenuhi, atas penyerahan aktiva bekas yang dilakukan terutang PPN Pasal 16D. Ketentuan ini tetap berlaku meskipun waktu pembeliannya kita misalnya memilih untuk tidak mengkreditkan PM karena khawatir terjadi LB PPN.

PPN Pasal 16D Sejak 1 April 2010

Pada saat UU PPN 2009 diberlakukan sejak 1 April 2010 hingga sekarang, pengenaan PPN Pasal 16D semakin diperluas. Penilaian bahwa pengenaan PPN Pasal 16D ini diperluas karena dalam UU PPN 2009 syarat nomor 3 yang sebelumnya ada di UU PPN 1994 dan UU PPN 2000 (syarat adanya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan) dihapus. Bunyi selengkapnya Pasal 16D UU PPN 2009 adalah seperti berikut:
"Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."
Dalam UU PPN 2009, pengenaan PPN Pasal 16D lebih dititikberatkan pada aktiva non-inventory asset yang berbentuk Barang Kena Pajak (BKP). Artinya jika aktiva yang diserahkan bukan merupakan BKP, maka terhadap penyerahan aktiva tersebut tidak terutang PPN. Misalnya jika kita menyumbangkan beras kepada pihak lain, maka terhadap sumbangan itu tidak terutang PPN Pasal 16D karena beras bukan merupakan BKP [lihat penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN 2009].
Selain itu, di Pasal 16D UU PPN 2009 tidak ada lagi kalimat “…sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Ini menandakan bahwa pengenaan PPN Pasal 16D tidak lagi memperhatikan ada tidaknya Pajak Masukan (PM) yang kita bayar waktu dahulu kita memperoleh aktiva tersebut. Maksudnya meskipun dahulu, waktu kita memperoleh aktiva itu tidak ada PPN yang kita bayar (misalnya karena aktiva tersebut kita beli dari penjual yang non-PKP), namun saat sekarang kita menyerahkan aktiva tersebut, maka atas penyerahan itu akan terutang PPN. Inilah yang membuat banyak pihak berkesimpulan bahwa ada perluasan objek pengenaan PPN Pasal 16D.
Selain itu, kesimpulan tadi juga diperkuat dengan adanya kalimat “…kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.” Dari kalimat ini kita dapat simpulkan bahwa hanya ada dua kelompok aktiva yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, yaitu: aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN.

Pasal 9 Ayat (8) Huruf b UU PPN

Aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN adalah aktiva-aktiva yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN. Contoh riilnya misalnya kita menjual asset berupa tanah kosong yang sebelumnya tidak pernah kita gunakan dalam kegiatan usaha.
Contoh lain, misalnya kita menjual asset berupa mess karyawan. Saat kita membeli mess untuk karyawan, kita ‘kan tidak boleh mengkreditkan PM atas pembelian mess tersebut karena dianggap tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha? Jadi, saat sekarang kita akan menjual mess tersebut juga tidak akan terutang PPN Pasal 16D.
Pengertian ‘berhubungan langsung dengan kegiatan usaha’ adalah kegiatan usaha penyerahan yang terutang PPN. Contoh mudahnya begini: sebuah rumah sakit membeli peralatan rawat inap misalnya tempat tidur. Saat membeli tempat tidur tersebut, rumah sakit tidak dapat mengkreditkan PM atas pembelian tempat tidur. Sebab meskipun tempat tidur tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha, akan tetapi karena jasa rumah sakit tidak terutang PPN (non-JKP), maka PM atas pembelian tempat tidur tadi tetap tidak dapat dikreditkan karena tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN. Oleh karena itu, jika sekarang rumah sakit tadi hendak menjual tempat tidur tersebut, maka atas penjualan aktiva berupa tempat tidur tadi tidak akan terutang PPN Pasal 16D.

Pasal 9 Ayat (8) Huruf c UU PPN

Aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN 2009 adalah aktiva berupa kendaraan sedan dan station wagon.
Sebagaimana kita ketahui, kalau kita membeli kendaraan jenis sedan atau station wagon, PM atas pembelian sedan itu tidak boleh kita kreditkan meskipun kenyataannya sedan itu kita gunakan dalam kegiatan usaha. Dan karena PM-nya tidak dapat dikreditkan, maka pada saat sekarang kita akan menjual sedan tersebut, atas penjualannya tidak terutang PPN Pasal 16D.
Tapi jika seandainya sedan dan station wagon itu kita beli dengan maksud untuk usaha persewaan mobil (rental) atau untuk dijual kembali (showroom), maka PPN atau PM atas pembelian sedan dan station wagon itu dapat dikreditkan. Sehingga pada saat kita akan menjualnya sekarang dapat terutang PPN Pasal 16D.

DPP PPN dan Faktur Pajak

Terhadap penyerahan aktiva bekas yang terutang PPN Pasal 16D, kita harus membuat Faktur Pajak dengan kode faktur 090. Tarif PPN-nya tetap 10% sedangkan DPP (dasar pengenaan pajak) adalah sebesar harga pasar dari aktiva yang kita serahkan.
Kita harus melaporkan Faktur Pajak tersebut di SPT Masa PPN dan menyetorkan PPN-nya jika memang PPN Pasal 16D itu harus disetor. Sebab beberapa tahun lalu ada PPN Pasal 16D yang tidak perlu disetor, yaitu PPN Pasal 16D atas penyerahan sumbangan BKP kepada korban bencana alam tsunami di Aceh dan gempa bumi di Jogyakarta.
-ooOoo-

1 comment: