UU PPN No. 42 Tahun 2009

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                     NOMOR 42 TAHUN 2009

                        TENTANG

             PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
                     TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
                      DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

                          DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.     bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem
    perpajakan yang lebih sederhana serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional
    dapat dilaksanakan secara mandiri, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8
    Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang
     Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
    dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-
    Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
    Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat :

1.     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
    Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
    Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
    2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
     Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan Menjadi Undang-Undang  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62 ,
    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
    Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
     Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
    dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8
     Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
    Indonesia Nomor 3986);


                        Dengan Persetujuan Bersama

               DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                           dan
                              RESIDEN REPUBLIK INDONESIA


                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.


                        Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-
Undang:
a.     Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
b.     Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai berikut:

1.     Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
       1.     Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
        ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
        kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
       2.     Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
        bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
       3.     Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
       4.     Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
       5.    Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
        yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai,
        termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
        dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
       6.     Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
       7.     Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
       8.     Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan
        Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
       9.     Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
        Pabean.
      10.     Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
        kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
        Daerah Pabean.
      11.     Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak
        Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
      12.     Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar
        barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
      13.     Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
        melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
        perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
        daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
        persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
        lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
        usaha tetap.
      14.     Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
        atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan
        usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
         usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
      15.     Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/
        atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
      16.     Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu
        barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau
        kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain
        melakukan kegiatan tersebut.
      17.     Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau
        nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
      18.     Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
        diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
         Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
        Faktur Pajak.
      19.     Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
        diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
        ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
         dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
        Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
         pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
        Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
        dalam Daerah Pabean.
      20.     Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
        pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
        mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
        Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-
        Undang ini.
      21.     Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
        penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang
         Kena Pajak tersebut.
      22.     Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
        penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian
        atas Jasa Kena Pajak tersebut.
      23.     Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
        melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
      24.     Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha
        Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
        pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
        pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
      25.     Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha
        Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
        ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
        ekspor Jasa Kena Pajak.
      26.     Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
        diminta oleh eksportir.
      27.     Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau instansi
        pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
        pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
         penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah
        tersebut.
      28.     Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena
        Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
      29.     Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah
        Pabean.


2.     Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 1A

    (1)     Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
        a.     penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
        b.     pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
            perjanjian sewa guna usaha (leasing);
        c.     penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
        d.     pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
        e.     Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
            tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
        f.     penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
            penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
        g.     penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
        h.     penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
            pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
            dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan
            Barang Kena Pajak.
    (2)     Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
        a.     penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
            Undang-undang Hukum Dagang;
        b.     penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
        c.     Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam
            hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
        d.     pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
            pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
            pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
        e.     Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
            diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
            Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
            dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.


3.     Ketentuan Pasal 3A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 3A

    (1)     Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
        a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
        oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
        Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
        Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
    (1a)     Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai
        Pengusaha Kena Pajak.
    (2)     Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib
        melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)     Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
        Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang
        memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
         ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang
        terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan."


4.     Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 4

    (1)     Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
        a.     penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
            Pengusaha;
        b.     impor Barang Kena Pajak;
        c.     penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
        d.     pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
            Daerah Pabean;
        e.     pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
        f.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
        g.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
        h.     ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
    (2)     Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai
        Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan
         Menteri Keuangan.


5.     Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
   
                        Pasal 4A

    (1)     Dihapus.
    (2)     Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok
        barang sebagai berikut:
        a.     barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
            sumbernya;
        b.     barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
        c.     makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
            sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
            tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
            katering; dan
        d.     uang, emas batangan, dan surat berharga.
    (3)     Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok
        jasa sebagai berikut:
        a.     jasa pelayanan kesehatan medis;
        b.     jasa pelayanan sosial;
        c.     jasa pengiriman surat dengan perangko;
        d.     jasa keuangan;
        e.     jasa asuransi;
        f.     jasa keagamaan;
        g.     jasa pendidikan;
           h.     jasa kesenian dan hiburan;
        i.     jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
        j.     jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
            menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
        k.     jasa tenaga kerja;
        l.     jasa perhotelan;
        m.     jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
            umum;
        n.     Jasa penyediaan tempat parkir;
        o.     Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
        p.     Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
        q.     Jasa boga atau katering


6.     Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 5

    (1)     Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
         dikenai juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:
        a.     Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha
            yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha
            atau pekerjaannya; dan
        b.     impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
    (2)     Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan
        Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu
        impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.


7.     Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 5A

    (1)     Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
         atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak
        Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
        terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
    (2)     Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya
        maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa
        Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
    (3)     Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
        Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
        pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
        Peraturan Menteri Keuangan.


8.     Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 7

    (1)     Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
    (2)     Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
        a.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
        b.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
        c.     ekspor Jasa Kena Pajak.
    (3)     Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima
         persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan
        Peraturan Pemerintah.


9.     Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 8

    (1)     Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
        paling tinggi 200% (dua ratus persen).
    (2)     Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
    (3)     Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak
        Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
         Peraturan Pemerintah.
    (4)     Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
        sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
        Keuangan.


10.     Diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 8A

    (1)     Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian,
         Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
    (2)     Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


11.     Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat 3, ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7),
    ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, diantara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
    ayat (2b), diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat
     (4f), diantara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan diantara
    ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b), sehingga Pasal 9 berbunyi
    sebagai berikut:

                        Pasal 9

    (1)     Dihapus.
    (2)     Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak
        yang sama.
    (2a)     Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan
        yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat
        dikreditkan.
    (2b)     Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
    (3)     Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
        selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
    (4)     Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada
        Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa
        Pajak berikutnya.
    (4a)     Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan
        permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
    (4b)     Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimasud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan
         Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
        a.     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
        b.     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
            penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
        c.     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
            penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
        d.     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
        e.     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
           f.     Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada
            ayat (2a).
    (4c)     Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
         pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha
        Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
        sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6
        Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
    (4d)     Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian
        pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan
        Menteri Keuangan.
    (4e)     Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap pengusaha Kena Pajak
        sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
        melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
    (4f)     Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur
        Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak
        ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
        ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
        Perpajakan dan Perubahannya.
    (5)     Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
        terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
        penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
        Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
        penyerahan yang terutang pajak.
    (6)     Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
        terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak
        Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah
        Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
        menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    (6a)     Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah
        diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal
        Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu
        paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak Pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
    (6b)     Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali
        sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
        Keuangan.
    (7)     Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran
        usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak
        sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
        penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
    (7a)     Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
        kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
        Pajak Masukan.
    (7b)     Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha
        tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
        Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.
    (8)     Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan
        bagi pengeluaran untuk:
        a.     perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
            sebagai Pengusaha Kena Pajak;
        b.     perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
            langsung dengan kegiatan usaha;
        c.     perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
            kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
        d.     pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
            dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
            Pajak;
        e.     dihapus;
        f.     perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
            memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
            atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
            Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
        g.     pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
            dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
        h.     perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
            dengan penerbitan ketetapan pajak;
        i.     perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
            dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan
            pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
        j.     perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
            Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
    (9)     Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
        Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga)
        bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
        sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
    (10)     Dihapus.
    (11)     Dihapus.
    (12)     Dihapus.
    (13)     Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.
    (14)     Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
        pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak
        yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat
        dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya
         diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai
        biaya atau dikapitalisasi.


12.     Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai
    berikut:

                        Pasal 11

    (1)     Terutangnya pajak terjadi pada saat:
        a.     penyerahan Barang Kena Pajak;
        b.     impor Barang Kena Pajak;
        c.     penyerahan Jasa Kena Pajak;
        d.     pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;  
        e.     pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
        f.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
        g.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
        h.     ekspor Jasa Kena Pajak.
    (2)     Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum
        penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
        pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
         saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
    (3)     dihapus.
    (4)     Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal
        saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat
        menimbulkan ketidakadilan.
    (5)     dihapus.


13.     Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 12

    (1)     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
        ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal
        atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain
        tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur
        dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
    (2)     Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
        menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
    (3)     Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan
        dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    (4)     Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
        Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
        kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.


14.     Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 13

    (1)     Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
        a.     penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
             atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
        b.     penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
        c.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
            (1) huruf g; dan/atau
        d.     ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
    (1a)     Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
        a.     saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
        b.     saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
            penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
        c.     saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
             atau
        d.     saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 
    (2)     Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak
        dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
         pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
        kalender.
    (2a)     Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan
        penyerahan.
    (3)     Dihapus.
    (4)     Dihapus.
    (5)     Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
        dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
        a.     nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
            atau Jasa Kena Pajak;
        b.     nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
            penerima Jasa Kena Pajak;
        c.     Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
        d.     Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
        e.     Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
        f.     kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
        g.     nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
    (6)     Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
        dengan Faktur Pajak.
    (7)     Dihapus.
    (8)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan
        atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (9)     Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.

   
15.     Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai
    berikut :

                        Pasal 15 A

    (1)     Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
        Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
    (2)     Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan
        berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.


16.      Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 16B

    (1)     Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak,
         baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
        a.     kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
        b.     penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
        c.     impor Barang Kena Pajak tertentu;
        d.     pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di
            dalam Daerah Pabean; dan
        e.     pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
            Pabean
        diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    (2)     Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
        Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
    (3)     Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
        Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
        tidak dapat dikreditkan.


17.     Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 16D

    Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
    tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva
    yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b
     dan huruf c."


18.     Diantara Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16 E dan Pasal 16 F sehingga
    berbunyi sebagai berikut:

                        Pasal 16E

    (1)     Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas
        pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi
        pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
    (2)     Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
        a.     Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
            rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
        b.     Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
            keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
        c.     Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
            kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor
            paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada
             orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib
             Pajak.
    (3)     Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar
        negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
        Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
    (4)     Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan
        Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah :
        a.     Paspor;
        b.     pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud
            pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
        c.     Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
    (5)     Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak
        Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


                        Pasal 16 F

    Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas
    pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.


                        PASAL II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



                        Disahkan di Jakarta
                        pada tanggal 15 Oktober 2009
                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                        ttd.

                        DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA





                 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150






                            PENJELASAN
                          ATAS

                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 42 TAHUN 2009

                        TENTANG

                PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
                        TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
                         DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH


I.     U M U M

    Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
    dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
    sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang
    merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di
    tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang
    baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi
    sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak
    Pertambahan Nilai.
   
    Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan
    penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak
    konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
    tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah
    pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan
    diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya
    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

    Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
    1     Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
        Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru
        yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
        Nilai.
    2     Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai.
        Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau
        menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan
        Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
    3     Mengurangi Biaya Kepatuhan.
        Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik
        biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya
        maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi
        kepatuhan Wajib Pajak.
    4     Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.
        Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela
        Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan
        penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
    5     Tidak Mengganggu Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
        Disamping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi
        pertimbangan.
    6     Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.


II.     PASAL DEMI PASAL

    PASAL I

        Angka 1

            Pasal 1

                Cukup jelas

        Angka 2

            Pasal 1A

                Ayat (1)

                    Huruf a

                        Yang dimaksud dengan "Perjanjian" meliputi jual beli, tukar-
                        menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang
                         mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

                    Huruf b

                        Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian
                        sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha  (leasing).
                       
                        Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak
                        karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah
                        penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh
                        perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
                       
                        Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
                        Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha
                        (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap
                        diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok
                        (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).

                    Huruf c

                        Yang dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang
                        pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
                         dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan
                        atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah
                         atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
                       
                        Yang dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang
                        Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.

                    Huruf d

                        Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian
                        untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
                        karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan
                        produksi sendiri.
                       
                        Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah
                        pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang
                        produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti
                        pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau
                        pembeli.

                    Huruf e

                        Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang
                        menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
                        masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan
                        dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai
                        penyerahan Barang Kena Pajak.
                       
                        Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah
                        penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2)
                        huruf e.

                    Huruf f

                        Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu
                        tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai
                        cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar
                        tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
                       
                        Yang dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau
                        tempat kedudukan.
                       
                        Yang dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha,
                        perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha
                        sejenisnya.

                    Huruf g

                        Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan
                        Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang
                         bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan
                        dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya
                        penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
                       
                        Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak
                        laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik
                        Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut
                         dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian
                        Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam
                        Pasal 5A Undang-undang ini.

                    Huruf h

                        Contoh:
                        Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai
                        penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor
                        dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank
                        syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah,
                        bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor
                        tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan
                        Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut
                        dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A
                        kepada Tuan B.

                Ayat (2)

                    Huruf a

                        Yang dimaksud dengan "makelar" adalah makelar sebagaimana
                        dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yaitu
                        pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh
                        pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
                        Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan
                        melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi
                        tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang
                        dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.

                    Huruf b

                        Cukup jelas.

                    Huruf c

                        Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu
                        tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang
                        perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
                        menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur
                         Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu
                        tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya
                        (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap
                        tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
                        Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat
                        pajak terutang.

                    Huruf d

                        Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan
                        usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
                        mengatur mengenai perseroan terbatas.

                    Huruf e

                        Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan
                        semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada
                        saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas
                        perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai
                        hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana
                        dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva
                        berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon, yang
                        Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
                        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak
                        termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak.

        Angka 3

            Pasal 3A

                Ayat (1)

                    Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
                    penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau
                    melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena
                    Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:       
                    a.     melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
                        Kena Pajak;
                    b.     memungut pajak yang terutang;
                    c.     menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
                        dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
                        Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak
                        Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
                    d.     melaporkan penghitungan pajak.
                    Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya
                    ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

                Ayat (1a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi
                    Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi
                    Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi
                    pengusaha kecil tersebut.

                Ayat (3)

                    Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena
                    Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
                    luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan
                    yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
                    Jasa Kena Pajak tersebut.

        Angka 4

            Pasal 4

                Ayat (1)

                    Huruf a

                        Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena
                        Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan
                        menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
                        Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya
                        dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
                        dikukuhkan.
                       
                        Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi
                        syarat-syarat sebagai berikut:
                        a.     barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang
                            Kena Pajak,
                        b.     barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan
                            Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
                        c.     penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
                        d.     penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
                            atau pekerjaannya.

                    Huruf b

                        Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak.
                        Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan
                        Cukai.
                       
                        Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada
                        huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke
                        dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan
                        dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak,
                        tetap dikenai pajak.

                    Huruf c

                        Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena
                        Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
                        Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
                        3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan
                        sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
                       
                        Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi
                        syarat-syarat sebagai berikut:
                        a.     jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
                        b.     penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
                           c.     penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
                            pekerjaannya.
                       
                        Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak
                        adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan
                         sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

                    Huruf d

                        Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang
                        sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena
                        Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean
                        yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean
                        juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
                       
                        Contoh:
                        Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak
                        menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang
                        berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut
                        oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak
                        Pertambahan Nilai.

                    Huruf e

                        Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
                        oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak
                        Pertambahan Nilai.

                        Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan
                        Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di
                        Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut
                        terutang Pajak Pertambahan Nilai.

                    Huruf f

                        Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan
                        sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c,
                        Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak
                        Berwujud hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi
                        Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
                        3A ayat (1).

                    Huruf g

                        Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena
                        Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang
                        Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah
                        dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
                        dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).

                        Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud"
                        adalah :
                        1.     Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di
                            bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah,
                            paten, desain atau model, rencana, formula atau
                            proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
                            kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
                            lainnya;
                           2.     penggunaan atau hak menggunakan peralatan/
                            perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
                           3.     pemberian pengetahuan atau informasi di bidang
                            ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
                           4.     pemberian bantuan tambahan atau pelengkap
                            sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan
                            hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
                             menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
                            angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi
                             tersebut pada angka 3, berupa :
                                  a)     penerimaan atau hak menerima rekaman
                                gambar atau rekaman suara atau keduanya,
                                yang disalurkan kepada masyarakat melalui
                                satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang
                                 serupa;
                                  b)     penggunaan atau hak menggunakan rekaman
                                gambar atau rekaman suara atau keduanya,
                                untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/
                                dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik,
                                atau teknologi yang serupa; dan
                                  c)     penggunaan atau hak menggunakan sebagian
                                atau seluruh spektrum radio komunikasi;
                           5.     penggunaan atau hak menggunakan film gambar
                            hidup (motion picture films), film atau pita video untuk
                             siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
                           6.     pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang
                            berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak
                            kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
                            sebagaimana tersebut di atas.

                    Huruf h

                        Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah
                        penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke
                        luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
                        menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak
                        Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan
                         dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.
        Angka 5

            Pasal 4A

                Ayat (1)

                    Cukup Jelas

                Ayat (2)

                    Huruf a

                         Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
                        diambil langsung dari sumbernya meliputi:
                        a.     minyak mentah (crude oil);
                        b.     gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang
                            siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
                        c.     panas bumi;
                        d.     asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur,
                            batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar
                            (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit,
                            gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer,
                            nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa,
                            perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
                            earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
                            yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
                        e.     batubara sebelum diproses menjadi briket batubara;
                            dan
                        f.     bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih
                            nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

                    Huruf b

                        Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
                        banyak meliputi:
                        a.     beras;
                        b.     gabah;
                           c.     jagung;
                        d.     sagu;
                        e.     kedelai;
                        f.     garam, baik yang beryodium maupun yang tidak
                            beryodium;
                        g.     daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi
                            telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong,
                            didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,
                             digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara
                            lain, dan/atau direbus;
                        h.     telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur
                            yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
                        i.    susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses
                            didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung
                            tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas
                             atau tidak dikemas;
                        j.     buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik,
                            baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi,
                            dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau
                            dikemas atau tidak dikemas; dan
                        k.     sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik,
                            dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu
                            rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

                    Huruf c

                        Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan
                        pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan
                        Pajak Daerah.

                    Huruf d

                        Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Huruf a

                        Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
                           1.     jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
                           2.     jasa dokter hewan;
                           3.     jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi,
                            ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
                           4.     jasa kebidanan dan dukun bayi;
                           5.     jasa paramedis dan perawat;
                           6.     jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan,
                            laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
                           7.     jasa psikologi dan psikiater;dan
                           8.     jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan
                            oleh paranormal.

                    Huruf b

                        Jasa pelayanan sosial meliputi:
                           1.     jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
                           2.     jasa pemadam kebakaran;
                           3.     jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
                           4.     jasa lembaga rehabilitasi;
                           5.     jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman,
                            termasuk krematorium; dan
                           6.     jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat
                            komersial.

                    Huruf c

                        Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa
                        pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan
                         menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

                    Huruf d

                        Jasa keuangan meliputi:
                           1.     jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro,
                            deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan,
                            dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
                           2.     jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau
                            meminjamkan dana kepada pihak lain dengan
                            menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
                            dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
                           3.     jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan
                            prinsip syariah, berupa:
                                  a)     sewa guna usaha dengan hak opsi;
                                  b)     anjak piutang;
                                  c)     usaha kartu kredit; dan/atau
                                  d)     pembiayaan konsumen;
                           4.     jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai,
                            termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
                           5.     jasa penjaminan.

                    Huruf e

                        Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa
                        pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa,
                         dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi
                        kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa
                        penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian
                        asuransi, dan konsultan asuransi.

                    Huruf f
                        Jasa keagamaan meliputi:
                           1.     jasa pelayanan rumah ibadah;
                           2.     jasa pemberian khotbah atau dakwah;
                           3.     jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
                           4.     jasa lainnya di bidang keagamaan.

                    Huruf g

                        Jasa pendidikan meliputi:
                           1.     jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti
                            jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan
                            kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,
                             pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan
                            pendidikan profesional; dan
                           2.     jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

                    Huruf h

                        Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang
                        dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.

                    Huruf i

                        Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa
                        penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi
                        pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak
                        dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

                    Huruf j

                        Cukup jelas

                    Huruf k

                        Jasa tenaga kerja meliputi:
                           1.     jasa tenaga kerja;
                           2.     jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha
                            penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas
                            hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
                           3.     jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

                    Huruf  l

                        Jasa perhotelan meliputi:
                           1.     jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di
                            hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta
                             fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
                            untuk tamu yang menginap; dan
                           2.     jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau
                            pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel,
                            losmen, dan hostel.

                    Huruf m

                        Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
                        menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis
                        jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain
                        pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha
                        Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan
                        pembuatan kartu Tanda Penduduk.

                    Huruf n

                        Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir"
                        adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh
                        pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna
                        tempat parkir dengan dipungut bayaran.

                    Huruf o

                        Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan
                        menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan
                        menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan
                        oleh pemerintah maupun swasta.

                    Huruf p

                        Cukup jelas.

                    Huruf q

                        Cukup jelas.

        Angka 6

            Pasal 5

                Ayat (1)

                    Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh
                    produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,
                    di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak
                    Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:   
                    a.     perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen
                        yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang
                        berpenghasilan tinggi;
                    b.     perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena
                        Pajak yang tergolong mewah;
                    c.     perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
                        tradisional; dan
                    d.     perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

                    Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah"
                    adalah:
                    a.     barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
                    b.     barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
                    c.     barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
                        berpenghasilan tinggi; dan/atau
                    d.     barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status. 

                    Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang
                    Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang
                    mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan
                    apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya
                    sekali saja.

                    Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap
                    suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak
                    memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut
                     telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
                    pada transaksi sebelumnya.

                    Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah
                    kegiatan:
                    a.     merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu
                        Barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti
                        merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
                    b.     memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan
                        baik dicampur bahan lain maupun tidak;
                    c.     mencampur, yaitu  mempersatukan dua atau lebih unsur (zat)
                        untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
                    d.     mengemas, yaitu menempatkan suatu barang kedalam suatu
                        benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk
                        meningkatkan pemasarannya; dan
                    e.     membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair
                        ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
                       serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau
                    menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

                Ayat (2)

                    Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak
                    Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang
                    Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
                    telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas
                    Barang Mewah yang terutang.

                    Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja,
                    yaitu pada waktu:
                    a.     penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak
                        yang tergolong mewah; atau
                    b.     impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
                    Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan
                    atas Barang Mewah.

        Angka 7

            Pasal 5A

                Ayat (1)

                    Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan
                    (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
                    atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan
                    tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang
                     Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan
                    mengurangi:
                    a.     Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam
                        hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
                         telah dikreditkan;
                    b.     biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam
                        hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut
                         tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau
                        telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
                        harta tersebut; atau
                    c.     biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena
                        Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang
                        dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau
                        telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
                        harta tersebut.

                Ayat (2)

                    Yang dimaksud dengan "Jasa Kena Pajak yang dibatalkan" adalah
                    pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau
                    kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.

                    Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik
                    sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak
                    Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut
                    mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
                     pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
                    a.     Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa
                        Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak
                        yang dibatalkan telah dikreditkan;
                       b.     biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa
                        Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
                        Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan
                        telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
                        (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
                    c.     biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan
                        Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai
                        atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah
                        dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
                        (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

        Angka 8

            Pasal 7

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
                    Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,
                    a.     Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
                    b.     Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean
                        yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
                    c.     Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak
                        yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
                        menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas
                         dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
                        petunjuk dari  pemesan di luar Daerah Pabean,
                    dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).

                    Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
                    pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan
                    yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
                    Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
                    dikreditkan.

                Ayat (3)

                    Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau
                    peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi
                     wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling
                    rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
                    dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif
                    sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah
                    kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan
                    penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

        Angka 9

            Pasal 8

                Ayat (1)

                    Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam
                    beberapa kelompok tarif,yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen)
                     dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif
                    tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang
                    tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

                Ayat (2)

                    Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan
                    atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam
                    Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong
                    mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai
                    Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen).
                    Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan
                     Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut
                    dapat diminta kembali.

                Ayat (3)

                    Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam
                    penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang
                    dikenai Pajak Penjualaan atas Barang Mewah terutama didasarkan
                    pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan
                     barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi
                    masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang
                    tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh
                    masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang
                    yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan
                     atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.
                    Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
                     Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan
                    Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 10

            Pasal 8A

                Ayat (1)

                    Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang
                    terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai
                    berikut.
                   
                    Contoh:
                    a.     Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak
                        dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.

                        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
                        10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00

                        Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut
                        merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
                        Kena Pajak A.
                   
                    b.     Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena
                        Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00

                        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
                        10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.

                        Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut
                        merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
                        Kena Pajak B.

                    c.     Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah
                        Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.

                        Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat
                        Jenderal Bea dan Cukai =
                        10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00

                    d.     Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena
                        Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.

                        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
                        0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00

                        Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan
                        Pajak Keluaran.

                Ayat (2)

                    Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau
                    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa
                    keadilan dalam hal:
                    a.     Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor sukar
                        ditetapkan; dan/atau
                    b.     penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh
                        masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.    

        Angka 11

            Pasal 9

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor
                    Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
                    Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang
                    memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib
                    membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti
                    pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
                    dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang
                    Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang  Kena
                    Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
                    dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena
                    Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha
                    Kena pajak.

                    Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena
                    Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya
                    dalam Masa Pajak yang sama.

                Ayat (2a)

                    Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak keluaran
                    pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak
                    yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau
                    impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana
                     dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).

                Ayat (2b)

                    Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak
                    menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana
                    dimakud dalam Pasal 13 ayat (5).

                    Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus
                    memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan
                    yang dapat dikreditkan.

                    Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat
                    dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak
                    Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang
                    bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

                    Contoh:

                    Masa Pajak Mei 2010
                    Pajak Keluaran                                                  = Rp2.000.000,00
                    Pajak Masukan yang dapat dikreditkan                = Rp4.500.000,00
                                                                                                         ------------------(-)
                    Pajak yang lebih dibayar                                    = Rp2.500.000,00
                    Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak
                    Juni 2010.  

                    Masa Pajak Juni 2010
                    Pajak Keluaran                                                   = Rp3.000.000,00
                    Pajak Masukan yang dapat dikreditkan                 = Rp2.000.000,00
                                                                                                       -------------------(-)
                    Pajak yang kurang dibayar                                  = Rp1.000.000,00
                    Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010
                    yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010    = Rp2.500.000,00
                                                                                                       -------------------(-)
                    Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010      = Rp1.500.000,00
                    Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak
                    Juli 2010.

                Ayat (4a)

                    Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan
                    ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
                    Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak
                    akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan
                    permohonan pengembalian (restitusi).

                    Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini
                    adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha
                    (bubar).

                Ayat (4b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4c)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4d)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4e)

                    Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan
                     pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
                    melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian
                    pendahuluan kelebihan pajak.

                Ayat (4f)

                    Dalam hal Direktur Jendeal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
                    menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang
                    Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
                    Perpajakan dan perubahannya tidak ditetapkan walaupun pada tahap
                    sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
                    Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang
                    dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling
                    lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
                     13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
                    Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

                    Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi
                    tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.

                Ayat (5)

                    Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah
                    penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-
                    Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

                    Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak"
                    adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak
                    Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang
                    dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 16B.

                    Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan
                    penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang
                     pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan
                    dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang
                    terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari
                    pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

                    Contoh :
                    Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan,
                    yaitu:

                    a.     penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
                        Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
                    b.     penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
                        = Rp5.000.000,00
                        Pajak Keluaran = nihil
                    c.     penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
                        Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
                        Pajak Keluaran = nihil

                    Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:

                    a.     Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
                        dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
                    b.     Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
                        dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
                        Nilai  = Rp300.000,00
                    c.     Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
                        dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
                        Pertambahan Nilai = Rp500.000,00

                    Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan
                    Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.

                Ayat (6)

                    Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
                    dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan
                    dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
                     Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
                    kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
                   
                    Contoh:
                    Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan, yaitu:

                    a.     penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
                              Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
                       b.     penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
                              Pajak Keluaran = nihil

                    Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan
                    Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan
                    sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan
                    dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
                    pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00
                    tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar
                    Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
                    dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
                     Keuangan.
   
                Ayat (6a)

                    Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam
                    rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi
                     syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan
                    adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

                    Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal
                    berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak,
                    sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh
                    karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/
                    atau perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar
                    kembali.

                Ayat (6b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (7)

                    Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan
                    Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran 
                    usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat
                     menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan 
                    menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

                Ayat (7a)

                    Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak
                    Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang
                    melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak
                    Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan Pedoman
                    Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

                Ayat (7b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8)

                    Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak
                    Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat
                    ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

                    Huruf a

                        Ketentuan memberikan kepastian hukum bahwa Pajak
                        Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan
                        sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
                       
                        Contoh:
                        Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
                        Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010.
                        Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
                        tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April
                         2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April
                         2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.

                    Huruf b

                        Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung
                        berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran
                        untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
                        manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
                         Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi
                        syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya
                        penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh
                        karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi
                        syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha,
                        masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
                        dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada
                        kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak
                        Pertambahan Nilai.

                    Huruf c
                        Cukup jelas

                    Huruf d

                        Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak
                        Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha  dikukuhkan
                        sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

                        Contoh:
                        Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
                        Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010.
                        Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
                        tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April
                         2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
                        Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
                         yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat
                        dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.

                    Huruf e

                        Cukup jelas.

                    Huruf f

                        Cukup jelas.

                    Huruf g

                        Cukup jelas.

                    Huruf h

                        Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru
                        membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
                        perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa
                        Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak
                        Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak
                        tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat
                        dikreditkan.

                    Huruf i

                        Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak
                        wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat
                        Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu,
                        kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan
                        kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan
                        Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sudah selayaknya
                        jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat
                        Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
                        dikreditkan.

                        Contoh:
                        Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
                        dilaporkan :
                        Pajak Keluaran       = Rp10.000.000,00
                        Pajak Masukan       = Rp  8.000.000,00
                        Dari hasil pemeriksaan diketahui:
                        Pajak Keluaran       = Rp15.000.000,00
                        Pajak Masukan       = Rp11.000.000,00

                        Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak
                        sebesar Rp 11.000.000,00 tetapi tetap sebesar
                        Rp8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
                        Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

                        Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
                        Pajak Keluaran                              = Rp15.000.000,00
                        Pajak Masukan                              = Rp  8.000.000,00
                                                                                    -------------------- (-)
                                                    Kurang Bayar menurut
                        hasil pemeriksaan                         = Rp  7.000.000,00
                        Kurang Bayar menurut
                        Surat Pemberitahuan                     = Rp  2.000.000,00
                                                                                              --------------------(-)
                        Masih kurang dibayar                     = Rp  5.000.000,00

                    Huruf j

                        Cukup jelas

                Ayat (9)

                    Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk
                    mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
                    Pajak yang tidak sama yang disebabkan antara lain, Faktur Pajak
                    terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak
                    yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa
                    Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
                    Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah
                    dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan
                    melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
                    Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya
                    dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum
                    dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi)
                    kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
                    yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum
                    dilakukan pemeriksaan.

                    Contoh:
                    Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur
                    Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak
                    Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya
                     paling lama Masa Pajak Oktober 2010.

                Ayat (10)

                    Cukup jelas.

                Ayat (11)

                    Cukup jelas.

                Ayat (12)

                    Cukup jelas.

                Ayat (13)

                    Cukup jelas.

                Ayat (14)

                    Cukup jelas.

        Angka 12

            Pasal 11

                Ayat (1)

                    Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
                    Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi
                    pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
                    meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau
                    belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
                     Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui
                    "electronic commerce" tunduk pada ketentuan ini.

                    Huruf a

                        Cukup jelas.

                    Huruf b

                        Cukup jelas.

                    Huruf c

                        Cukup jelas.

                    Huruf d

                        Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang
                        Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
                        Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
                         Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak
                        terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai
                        memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa
                        Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu
                        dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan
                        Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
                        tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat
                        dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu,
                        saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat
                        penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

                    Huruf e

                        Cukup jelas.

                    Huruf f

                        Cukup jelas.

                    Huruf g

                        Cukup jelas.

                    Huruf h

                        Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
                    Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
                    sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
                    Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang
                    Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya
                    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak
                    adalah saat pembayaran.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

        Angka 13

            Pasal 12

                Ayat (1)

                    Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal
                    dan/ atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena
                    Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan
                     usaha.

                    Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat
                    kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya,
                    setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan
                    Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk
                    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

                    Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat
                    pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor
                    Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut,
                    Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha
                    sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh
                     tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak
                    tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang,
                    Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur
                    Jenderal Pajak.

                    Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
                    tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
                    kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.

                    Contoh 1:
                    Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di
                    Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada
                    penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang
                    pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
                    Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong
                    sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di
                    Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/
                    atau  Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat
                     tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri
                    di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun apabila baik di
                    tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A
                    melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
                     orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak
                    Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong, karena
                    tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.
                    Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib
                    mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat
                    kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua
                    tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
                    dan/atau Jasa Kena Pajak.

                    Contoh 2:
                    PT A mempunyai 3 (tiga) tempat melakukan kegiatan usaha, yaitu
                    di kota Bengkulu, Bintuhan dan Manna yang ketiganya berada dibawah
                    pelayanan 1 (satu) Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan
                    Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut
                    melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
                    dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan,
                    sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam
                    keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan
                    usaha, untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai
                    Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu.
                    PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab
                    untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga
                    tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.

                    Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan
                    Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh
                    kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala
                    Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.

                Ayat (2)

                    Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu)
                     tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam
                    pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan
                    pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
                    memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun
                     bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
                     Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
                    dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
                    dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau
                     tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/
                    atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.

        Angka 14

            Pasal 13

                Ayat (1)

                    Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
                    Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang
                    Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib
                    memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan
                    Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu
                    dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur
                    Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang
                    ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.

                    Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak
                    berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
                     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D, wajib diterbitkan Faktur
                    Pajak.

                Ayat (1a)

                    Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau
                    pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi
                    sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat
                    pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut,
                    misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
                    penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh
                    karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain
                    sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.

                Ayat (2)

                    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
                    untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak
                     diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi
                    semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
                    Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli
                    yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut
                    Faktur Pajak gabungan.

                Ayat (2a)

                    Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak
                    diperkenankan  membuat Faktur Pajak gabungan paling lama
                    pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
                     Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi
                    pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

                    Contoh 1:
                    Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang
                    Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25,
                     28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama
                    sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha
                    Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan
                     meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu
                    paling lama tanggal 31 Juli 2010

                    Contoh 2:
                    Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
                    kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29 dan
                    30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat
                    pembayaran oleh Pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September
                     2010.  Dalam hal  Pengusaha Kena Pajak  A menerbitkan Faktur Pajak
                     gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September
                    2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan
                    September.

                    Contoh 3:
                    Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
                    kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan
                    30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat
                    pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan
                    pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada
                     bulan Oktober 2010 oleh Pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena
                    Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan
                    dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh
                    penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan
                    September.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5)

                    Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan
                    sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak
                    harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh
                    pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
                    menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan
                    atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena
                    Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Faktur Pajak yang
                     tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan
                    Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat
                    dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.

                Ayat (6)

                    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
                    Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa
                    digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan
                    dengan Faktur Pajak.

                    Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
                    a.     faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah
                        dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran
                        telepon dan tiket pesawat udara;
                    b.     untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak,
                        sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak,
                        yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
                        Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam
                        hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
                        Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
                    c.     Terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor
                        atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

                Ayat (7)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8)

                    Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang
                    salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam
                    pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah,
                    antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya
                    kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada
                    saat pengiriman.

                Ayat (9)

                    Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap,
                    jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud
                    pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan
                    Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
                    
                    Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
                    dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
                    keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan    
                    Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
                    Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
                    Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau
                    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
                    Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

                    Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
                    kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi
                    ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya,
                    apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen
                    tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak
                     sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
                    Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
                    Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
                    Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau
                    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
                    Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
                    Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
                    dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

        Angka 15

            Pasal 15A

                Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak
                untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat
                Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara
                khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat
                Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang
                diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
                dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

                Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan
                Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan
                penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai
                dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap
                dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
                6 Tahun 1983  tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
                perubahannya. 

        Angka 16

            Pasal 16B

                Ayat (1)

                    Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-
                    undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan
                     yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus
                    dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan
                    berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
                    Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
                    benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
                    dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud
                    dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

                    Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk
                    memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama
                     untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi
                    dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
                    meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
                    memperlancar pembangunan nasional.

                    Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas
                    untuk:
                    a.     mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di
                        Tempat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan
                        wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk
                        maksud tersebut;
                    b.     menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain
                        dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi
                        internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman
                        internasional lainnya;
                    c.     mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui
                        pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka Program
                        Imunisasi Nasional;
                    d.     menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/
                        Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai
                        untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman
                        eksternal maupun internal;
                    e.     menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah
                        Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional
                        Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
                    f.     meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan
                        membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan
                        buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau
                        masyarakat;
                    g.     mendorong pembangunan tempat ibadah;
                    h.     menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau
                        oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana,
                        rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
                    i.     mendorong pengembangan armada nasional di bidang
                        angkutan darat, air, dan udara;
                    j.     mendorong pembangunan nasional dengan membantu
                        tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan
                        baku kerajinan perak;
                    k.     menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai
                        dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
                    l.     mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi
                        Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan
                        Bea Masuk.   
                    m.     membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
                        Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan
                        bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam
                        nasional;
                    n.     menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat
                        dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
                    o.     menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk
                        mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di
                         daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi
                        lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume
                        barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana
                        transportasi yang tersedia sangat tinggi.

                Ayat (2)

                    Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang
                    terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang
                    berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
                     Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat
                    dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang,
                     tetapi tidak dipungut.

                    Contoh:
                    Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang
                    mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang
                    terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut
                    selamanya (tidak sekadar ditunda).

                    Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
                    Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
                    Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun
                    sebagai komponen biaya lain.

                    Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
                    tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan
                    Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
                    Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.

                    Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
                    A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak
                     Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak
                    Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun
                    Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak
                    Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

                Ayat (3)

                    Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus
                    berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
                    mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan
                     yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
                     Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
                    dikreditkan.

                    Contoh:
                    Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang
                    mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena
                    Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

                    Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
                    Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
                    Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun
                    sebagai komponen biaya lain.

                    Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
                    tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan
                    Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
                    Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.

                    Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
                    Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan
                     Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak
                    Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan
                     pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan
                    tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

        Angka 17

            Pasal 16 D

                Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan,
                peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula
                tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.

                Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena
                Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan
                pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
                yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut
                ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan
                aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

        Angka 18

            Pasal 16E

                Ayat (1)

                    Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri
                    untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut
                    diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian
                    Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
                    yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia
                    yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah
                    Pabean.

                Ayat (2)

                    Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
                    sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
                    Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh
                    karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
                    meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
                    Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang
                    diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi
                    pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.

                    Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak
                    mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat
                    dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan
                    Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas
                    berupa nama, nomor paspor dan alamat lengkap orang pribadi
                    tersebut di negara yang menerbitkan paspor.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

            Pasal 16F

                Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan
                Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada
                pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah
                seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa
                bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila
                ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada
                penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat
                menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau
                pemberi jasa.

    PASAL II

        Cukup jelas





               TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069

No comments:

Post a Comment