Penghitungan Penghasilan Kena Pajak

                    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 94 TAHUN 2010

                        TENTANG

                    PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
                       PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

                  DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.    bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
    Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
    2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
    perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
    Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
B.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
    ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
    beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
    Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
    Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
    dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

1.     Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
    Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
    telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
    Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.


                        BAB I
                       KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.     Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
    terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
    Pengganti Undang-­Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
    Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.     Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
    Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
    2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3.     Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
    adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
    1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


                        BAB II
                           OBJEK PAJAK

                        Pasal 2

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a.     kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
    di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
    saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b.     kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
    Undang-­Undang Pajak Penghasilan.


                        Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.


                        Pasal 4

(1)     Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak
    termasuk objek pajak.
(2)     Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan
    merupakan pengurang dari penghasilan bruto.


                        Pasal 5

(1)     Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif
    termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2)     Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
    Subjek Pajak luar negeri.


                        Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf  f Undang-Undang Pajak Penghasilan.


                        Pasal 7

(1)     Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
    menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
    Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2)     Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
    Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


                        Pasal 8

(1)     Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
    huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
    dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
       a.     usaha;
       b.     pekerjaan; atau
       c.     kepemilikan atau penguasaan.
(2)     Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
    terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3)     Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
    apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara
    langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4)     Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan
    antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
    terjadi apabila terdapat:
       a.     penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
        ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
       b.     hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.


                        BAB III
                PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

                        Pasal 9

(1)     Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
    berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
    Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2)     Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
    berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
       a.     dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
       b.     tidak termasuk objek pajak,
    tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3)     Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
    tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
       a.     dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
       b.     tidak termasuk objek pajak,
    diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
    menagih, dan memelihara penghasilan.


                        Pasal 10

(1)     Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
    Undang-­Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
    dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
       a.     benar-benar telah dibayar; dan
       b.     berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
        menagih, dan memelihara penghasilan.
(2)     Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
    serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
    pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.


                        Pasal 11

(1)     Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
    memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
    pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2)     Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan
    hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
    pada saat ternak dijual.


                        Pasal 12

(1)     Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
    terbatas diperkenankan apabila:
       a.     pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
        pihak lain;
       b.     modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
        seluruhnya;
       c.     pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
       d.     perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
        kelangsungan usahanya.
(2)     Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
    sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
    terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.


                        Pasal 13

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a.     biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
    1)     bukan merupakan objek pajak;
    2)     pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
    3)     dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b.     Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.


                        BAB IV
              PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
                         OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

                        Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a.     memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b.     melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
    berjalan; dan
c.     melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan
    dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.


                         BAB V
             PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
                       MELALUI PIHAK LAIN

                        Pasal 15

(1)     Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
    Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
       a.     terjadinya pembayaran; atau
    b.     terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
    tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2)     Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
    Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
       a.     pembayaran; atau
       b.     tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3)     Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
    Undang-­Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
       a.     dibayarkannya penghasilan;
       b.     disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
       c.     jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
    tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4)     Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
    Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
       a.     dibayarkannya penghasilan;
       b.     disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
       c.     jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
    tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.


                        Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-­Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang
telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.


                        Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam
hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.


                        Pasal 18

(1)     Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
    angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
    yang wajib membayarkan.
(2)     Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


                        Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.


                        Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.


                        Pasal 21

(1)     Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
    Penghasilan karena:
       a.     mengalami kerugian fiskal;
       b.     berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
       c.     Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
    dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
    oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)     Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
    permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
    dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/
    atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
    diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


                        Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak
Penghasilan.


                        Pasal 23

(1)     Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
    bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
    Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2)     Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
    Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
    yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
    pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
    Penghasilan.


                        BAB VI
                 PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
            MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
                         DAN PERTUKARAN INFORMASI

                        Pasal 24

(1)     Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
    merupakan Subjek Pajak:
       a.     dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
       b.     dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
    yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


                        Pasal 25

(1)     Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
    pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2)     Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan
    bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 
                        Pasal 26

(1)     Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
    dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
    perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
    perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
    Perjanjian Internasional.
(2)     Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
    persetujuan Menteri Keuangan.
(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


                        BAB VII
                  PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

                        Pasal 27

(1)     Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
       a.     memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak
        final;
       b.     menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
       c.     mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
        Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2)     Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan
    dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
    proporsional.


                        Pasal 28

(1)     Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
    Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-­Undang Ketentuan Umum dan
    Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
    buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
    Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2)     Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
    perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
    Tahun Pajak berikutnya.


                        BAB VIII
                       FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
                 PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

                        Pasal 29

(1)     Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang
    tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
    dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2)     Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
    luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
    memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.


                        Pasal 30

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


                        BAB IX
                    KETENTUAN LAIN-LAIN

                        Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.


                        Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.


                        Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.


                        BAB IX
                     KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


                        Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                        Ditetapkan di Jakarta
                        pada tanggal 30 Desember 2010
                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
   
                        ttd.

                        DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR





                LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161






                             PENJELASAN
                          ATAS

                      PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 94 TAHUN 2010

                        TENTANG

            PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
                       PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

I.     UMUM

    Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang
    terkait dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
    berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan
    Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

    Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
    Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
    mengatur ketentuan-­ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
    Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

    Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan
    Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

II.     PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

        Cukup jelas.

    Pasal 2

        Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
        dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
        yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
        saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

        Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
        menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya
        lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
        kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
        Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
        pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus)
        yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham
        bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian
        pembagian laba atau dividen.

    Pasal 3

        Cukup jelas.

    Pasal 4

        Ayat (1)

            Contoh:

            PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00
            (terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi
            yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham
            dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/
            lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
            sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000
            lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

            Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

        Ayat (2)

            Contoh:

            Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut
            sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
            sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan
            sebagai disagio saham oleh PT A.

            Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

    Pasal 5

        Cukup jelas.

    Pasal 6

        Cukup jelas.

    Pasal 7

        Ayat (1)

            Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
            penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

    Pasal 8

        Ayat (1)

            Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi
            dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
            keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
            atau harta hibahan.

        Ayat (2)

            Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
            penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

        Ayat (3)

            Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

            1.     Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam
                hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan
                pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau
                sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
                tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
                antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
                langsung.
            2.     Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi
                PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara
                PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
                Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya,
                maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
                bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
                hubungan pekerjaan tidak langsung.

        Ayat (4)

            Huruf a

                Cukup jelas.

            Huruf b

                Contoh:

                1.     Penguasaan manajemen secara langsung:

                    Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah
                    komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan
                    Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

                    Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai
                    komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi
                    direktur PT X dan komisaris PT Y.

                    Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan
                    penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain
                    bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris
                    PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
                    juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan
                    atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
                    sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
                    menerima.

                    Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan
                    penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan
                    keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
                    di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur
                    di PT AA.

                    Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau
                    sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek
                    pajak bagi pihak yang menerima.

                    Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta
                    hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta
                    hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
                    Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
                    manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B
                    (ayah) dan Tuan B Junior (anak).

                    Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi
                    antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan
                    keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak
                    memilki hubungan penguasaan.

                2.     Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

                    Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB.
                    Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
                    menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
                    rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
                    menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
                    dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum
                    namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
                    maupun akte perubahan PT X.

                    Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan
                    penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima
                    bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan
                    atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
                    menerima.

    Pasal 9

        Ayat (1)

            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Contoh:

            PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa
            apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.
   
            Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
            penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
            Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
            apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

            Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
            tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang
            dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

            Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran
            timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
            Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

            Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal
            dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

        Ayat (3)

            Contoh:

            PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010
            mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing
            sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000
            untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

            Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
            pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya
            karena:
               a.     tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen
                yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
               b.     merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
                penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya
                dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
                Undang-Undang Pajak Penghasilan.

    Pasal 10

        Cukup jelas.

    Pasal 11

        Ayat (1)

            Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang
            terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
            pembesaran tanaman sampai dijual.

        Ayat (2)

            Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
            dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
            sampai dijual.

    Pasal 12

        Ayat (1)

            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
            berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
            (best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
            hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
            Pajak Penghasilan.

    Pasal 13

        Huruf a

            Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
            penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
            Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
            penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
            Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
            Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
            berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
            lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
            berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
            Penghasilan.

        Huruf b

            Cukup jelas.

    Pasal 14

        Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
        Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
        dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
        sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
        Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
        sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

    Pasal 15

        Ayat (1)

            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

        Ayat (3)

            Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan
            adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen)
            dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
            perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau
            jasa lainnya).

            Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":
               a.     untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
                dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
                atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
                Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
                membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
                Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
                atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
                Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
               b.     untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
                pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
                perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
                diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
                setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
                dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
                tunai.

            Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
            melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
            tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

        Ayat (4)

            Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
            pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
            tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian
            atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
            lainnya).

            Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":
               a.     untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
                dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
                atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
                Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
                membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
                Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
                atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
                Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan
               b.     untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
                pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
                perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
                diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
                setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
                dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
                tunai.

            Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
            melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
            tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

    Pasal 16

        Contoh:

        Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar
        Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh
        tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.

        Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
        pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00
        (bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
        Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo
        pembayaran pada tanggal  l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan
        kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

        Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,
        dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

    Pasal 17

        Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan
        prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts
        revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
        Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

        Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:
           a.     saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam
            rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan
            kebijakan Pemerintah; atau
           b.     saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
            Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

    Pasal 18

        Cukup jelas.

    Pasal 19

        Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang
        usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
        Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang
        menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final,
        penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

    Pasal 20

        Contoh:

        Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
        memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00
        sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
        belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan
        Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi
        20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
        menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
        yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

        Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan
        Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009
        dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut,
        Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
        Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

    Pasal 21

        Ayat (1)

            Cukup jelas.

        Ayat (2)

            Contoh:
            Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata-­mata dikenai Pajak
            Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk
            kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi
            dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
            Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-­Undang Pajak Penghasilan.

        Ayat (3)

            Cukup jelas.

    Pasal 22

        Contoh:

        Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
        Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian
        tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar
        Rp7.500.000.000,00.

        Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
        ------------------------------------------------------------------------------------------------
        Uraian                     PPh Pasal 17         PPh Pasal 26 (4)
        ------------------------------------------------------------------------------------------------
        Penghasilan Neto Komersial            16.000.000.000,00    
        Penyesuaian Fiskal Positif           1.500.000.000,00    
        Penghasilan Neto Fiskal             17.500.000.000,00    
        Kompensasi Kerugian               7.500.000.000,00    
        Penghasilan Kena Pajak             10.000.000.000,00    
        PPh Badan Terutang 28%           2.800.000.000,00    
        PKP setelah dikurangi pajak                       7.200.000.000,00
        PPh Pasal 26 (4) = 20%                           1.440.000.000,00
        -------------------------------------------------------------------------------------------------

        Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00
        tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah
        dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

    Pasal 23

        Ayat (1)

            Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
            Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
            Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
            Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus
            dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

    Pasal 24

        Ayat (1)

            Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan
            certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
            pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
            yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

    Pasal 25

        Ayat (1)

            Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama
            (mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of
            taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
            Berganda.

        Ayat (2)

            Cukup jelas.

    Pasal 26

        Cukup jelas.

    Pasal 27

        Ayat (1)

            Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara
            teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan
            dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
            kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
            penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan
            merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak
            mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan
            sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

            Contoh huruf c:

            PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta
            mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
            pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

            Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
            Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
            di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
            Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
            di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

            Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
            amortisasi yang dipercepat.

            Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
            aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang
            tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

        Ayat (2)

            Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan
            kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan
            sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
            memelihara penghasilan lainnya.

            Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka
            menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
            penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
            Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
            36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

            Contoh:
            PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
            yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang
            terdiri dari:
            a.     penghasilan dari usaha yang telah
                dikenakan Pajak Penghasilan yang
                bersifat final ...................................        Rp 300.000.000,00
            b.     penghasilan bruto lainnya yang
                dikenakan Pajak Penghasilan yang
                bersifat tidak final ...........................         Rp 200.000.000,00
                                        ----------------------
                Jumlah penghasilan bruto             Rp 500.000.000,00

                Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan
                penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
                juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
                menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar:
                2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

    Pasal 28

        Ayat (1)

            Contoh:

            Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun
            buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur
            Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun
            buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
            sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
            Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

        Ayat (2)

            Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang
            baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
            berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

            Contoh:

            Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana
            mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak
            2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
            Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September
            2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
            berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai
            dengan 2011 sebagai berikut:
            Tahun Pajak I     : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)
            Tahun Pajak II    : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)
            Tahun Pajak III     : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan
                      Desember 2009)
            Tahun Pajak IV     : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)
            Tahun Pajak V     : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

    Pasal 29

        Cukup jelas.

    Pasal 30

        Cukup jelas.

    Pasal 31

        Contoh :

        PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun
        Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun ( tahun buku),
        PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
        Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
        Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

    Pasal 32

        PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun
        Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui
        pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23,
        Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak oleh
        Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib
        menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
        Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-­Undang Nomor 17 Tahun
        2000.

    Pasal 33

        Cukup jelas.

    Pasal 34

        Cukup jelas.

    Pasal 35

        Cukup jelas.




            TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183

No comments:

Post a Comment