UU PPh No. 36 Tahun 2008

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                    NOMOR 36 TAHUN 2008

                        TENTANG

                     PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
               NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

                 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.     bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem
    perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan
    kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7
    Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
    1983 tentang Pajak Penghasilan;
b.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-
    Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
    Penghasilan;

Mengingat :

1.     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
    1945;
2.     Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
    Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
    Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
    2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
    dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
3.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
    Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
    Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
    Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
    3985);


                         Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA               
                           dan
                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN.


                        Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang
telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a.     Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
b.     Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
c.     Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

diubah sebagai berikut:

1.     Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1
    adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
2.     Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan
    1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

   
                        Pasal 2

    (1)      Yang menjadi subjek pajak adalah:
        a.     1.     orang pribadi;
               2.     warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
        b.     badan; dan
        c.     bentuk usaha tetap.
    (1a)      Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
        dengan subjek pajak badan.
    (2)      Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
    (3)     Subjek pajak dalam negeri adalah:
           a.     orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
            di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
            (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada
            di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
           b.     badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
            badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
                     1.     pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
                     2.     pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
                atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
                     3.     penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
                Pemerintah Daerah; dan
                     4.     pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
           c.     warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
    (4)     Subjek pajak luar negeri adalah:
           a.     orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
            di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
            12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
            di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
            tetap di Indonesia; dan
           b.     orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
            di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
            12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
            di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
            dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
            di Indonesia.
    (5)     Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
        bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
        (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
        tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
        melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
           a.     tempat kedudukan manajemen;
           b.     cabang perusahaan;
           c.     kantor perwakilan;
           d.     gedung kantor;
           e.     pabrik;
           f.     bengkel;
           g.     gudang;
           h.     ruang untuk promosi dan penjualan;
           i.     pertambangan dan penggalian sumber alam;
          j.     wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
          k.     perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
          l.     proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
          m.     pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
            dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
          n.     orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
          o.     agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
            kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko
            di Indonesia; dan
          p.     komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
            digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
            melalui internet.
    (6)     Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
        Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

3.     Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai
    berikut:


                        Pasal 3

    (1)      Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
           a.     kantor perwakilan negara asing;
           b.     pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
            negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
            dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara
            Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar
            jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
            timbal balik;
           c.     organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
                     1.     Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
                     2.     tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
                dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
                berasal dari iuran para anggota;
           d.     pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf
            c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
            kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
    (2)      Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

4.     Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan
    ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d,
    huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m,
    dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

   
                        Pasal 4

    (1)      Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
        yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
        Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
        yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
           a.     Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
            diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
            pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
            Undang-undang ini;
           b.     hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
           c.     laba usaha;
           d.     keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
                     1.     keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
                badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
                     2.     keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
                anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
                     3.     keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
                pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
                dalam bentuk apa pun;
                     4.     keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
                kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
                satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
                yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
                kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
                Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
                kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
                     5.     keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
                penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
                perusahaan pertambangan;
           e.     penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
            pembayaran tambahan pengembalian pajak;
           f.     bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
           g.     dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
            asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
           h.     royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
           i.     sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
          j.     penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
          k.     keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
            ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
          l.     keuntungan selisih kurs mata uang asing;
          m.     selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
          n.     premi asuransi;
          o.     iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
            Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
          p.     tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
          q.     penghasilan dari usaha berbasis syariah;
          r.     imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
            mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
          s.     surplus Bank Indonesia.
    (2)      Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
           a.     penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
            utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
            koperasi orang pribadi;
           b.     penghasilan berupa hadiah undian;
           c.     penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
            diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
            modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
           d.     penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
            jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
           e.     penghasilan tertentu lainnya,
        yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
    (3)      Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
        a.     1.     bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
                atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
                yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan
                yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
                diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
                pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
                ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
               2.     harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
                lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
                termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
                mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
                Peraturan Menteri Keuangan,
            sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
            penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
        b.     warisan;
        c.     harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
            Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
            modal;
        d.     penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
            diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
            kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
            secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
            (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
        e.     pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
            asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
            asuransi bea siswa;
        f.     dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
            Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
            daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
            kedudukan di Indonesia dengan syarat:
               1.     dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
               2.     bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
                daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
                memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
                modal yang disetor;
        g.     iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
            Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
        h.     penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
            pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
            Menteri Keuangan;
        i.     bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
            modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
            kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
        j.      dihapus;
        k.     penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
            laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
            di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
               1.     merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
                kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
                Peraturan Menteri Keuangan; dan
               2.     sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
        l.     beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
            dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
        m.     sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
            dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
            terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
            sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
            dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
            tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
            Menteri Keuangan; dan
        n.     bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
            kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
            berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5.     Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf,
    yakni huruf i sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :

   
                        Pasal 6

    (1)      Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
        ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
        memelihara penghasilan, termasuk:
           a.     biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
            antara lain:
                     1.     biaya pembelian bahan;
                     2.     biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
                bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
                     3.     bunga, sewa, dan royalti;
                     4.     biaya perjalanan;
                     5.     biaya pengolahan limbah;
                     6.     premi asuransi;
                     7.     biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
                Menteri Keuangan;
                     8.     biaya administrasi; dan
                     9.     pajak kecuali Pajak Penghasilan;
           b.     penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
            pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
            manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
            11A;
           c.     iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
           d.     kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
            perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
            penghasilan;
           e.     kerugian selisih kurs mata uang asing;
           f.     biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
           g.     biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
           h.     piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
                     1.     telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
                     2.     Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
                kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
                     3.     telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
                instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
                tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
                debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
                atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
                dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
                     4.     syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
                piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
                (1) huruf k;
                  yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
            Keuangan;
           i.     sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
            dengan Peraturan Pemerintah;
          j.     sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
            yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
          k.     biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
            Pemerintah;
          l.     sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
            Pemerintah; dan
          m.     sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
            Peraturan Pemerintah.
    (2)      Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat
        kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
        berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
    (3)      Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
        Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

6.     Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 7

    (1)      Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
           a.     Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri
            Wajib Pajak orang pribadi;
           b.     Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
            Pajak yang kawin;
           c.     Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan
            untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
           d.     Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
            anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
            anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
            untuk setiap keluarga.
    (2)      Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada
        awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
    (3)      Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan
        Perwakilan Rakyat.

7.     Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 8

    (1)      Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
        pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya
        yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
        penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau
        diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
        dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
        anggota keluarga lainnya.
    (2)      Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
           a.     suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
           b.     dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
            dan penghasilan; atau
           c.     dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
            perpajakannya sendiri.
    (3)      Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai
        pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang
        harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
        penghasilan neto mereka.
    (4)     Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.

8.     Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal
    9 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 9

    (1)      Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
        bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
           a.     pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
            dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
            pembagian sisa hasil usaha koperasi;
           b.     biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
            sekutu, atau anggota;
           c.     pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
                     1.     cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
                menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
                pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
                     2.     cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
                dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
                     3.     cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
                     4.     cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
                     5.     cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
                     6.     cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
                industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
            yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
            Menteri Keuangan;
           d.     premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
            asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
            oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
            yang bersangkutan;
           e.     penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
            dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
            seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
            di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
            dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
           f.     jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
            kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
            dengan pekerjaan yang dilakukan;
           g.     harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
            dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
            dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh
            badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
            pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
            yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
            disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
            Peraturan Pemerintah;
           h.     Pajak Penghasilan;
           i.     biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
            orang yang menjadi tanggungannya;
          j.     gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
            yang modalnya tidak terbagi atas saham;
          k.     sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
            denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
            perpajakan.
    (2)      Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
        masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,
        melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
        11 atau Pasal 11A.

9.     Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah
    sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 11

    (1)      Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
        perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak    
        guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
        memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
        dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
        tersebut.
    (2)      Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain
        bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
        yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir
        masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
    (3)      Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
        dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
        tersebut.
    (4)     Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan
        penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
        memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
    (5)     Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan
        penilaian kembali aktiva tersebut.
    (6)     Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
        sebagai berikut:
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------   
        l                     l                     l Tarif Penyusutan sebagaimana    l
        l    Kelompok Harta Berwujud    l        Masa Manfaat     l    dimaksud dalam        l
        l                l            l--------------------------------------
        l                l            l     Ayat (1)    l      Ayat (2)    l
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
        l I.   Bukan bangunan        l            l        l        l
             l      Kelompok 1           l            4 tahun        l    25%    l    50%    l
        l      Kelompok 2            l      8 tahun        l    12,5%    l    25%    l
        l      Kelompok 3          l     16 tahun    l    6,25%    l    12,5%    l
        l      Kelompok 4            l    20 tahun      l    5%     l    10%    l
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
        l II. Bangunan            l            l        l        l
            l      Permanen              l    20 tahun    l    5%    l        l
            l      Tidak Permanen          l    10 tahun      l    10%    l        l
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
    
    (7)     Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
        dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    (8)     Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
        huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
        dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
        diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta
        tersebut.
    (9)     Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan
        pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar
        kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
        tersebut.
    (10)     Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
        ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
        tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
    (11)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
        sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

10.     Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2)
    disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 11A

    (1)      Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
        termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
        (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
        mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang
        sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
        dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku
        dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
    (1a)      Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu
        yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    (2)      Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------   
        l                     l                     l   Tarif Amortisasi berdasarkan    l
        l            Kelompok Harta     l        Masa Manfaat     l            metode        l
        l      Tak Berwujud        l            l--------------------------------------
        l                l            l     GarisLurus    l Saldo Menurun    l
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
             l      Kelompok 1           l           4 tahun        l    25%    l    50%    l
        l      Kelompok 2            l      8 tahun        l    12,5%    l    25%    l
        l      Kelompok 3          l     16 tahun    l    6,25%    l    12,5%    l
        l      Kelompok 4            l    20 tahun      l    5%     l    10%    l
        ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
    (3)     Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
        pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
        dimaksud dalam ayat (2).
    (4)     Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
        masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan
        dengan menggunakan metode satuan produksi.
    (5)     Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada
        ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya
        yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan
        metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
    (6)     Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
        dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan
        sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
    (7)     Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
        (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan
        sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada
        tahun terjadinya pengalihan tersebut.
    (8)     Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
        ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku
        harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

11.     Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga
    Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 14

    (1)      Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan
        disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
    (2)      Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
        peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
        delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
        Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
        memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama
        dari tahun pajak yang bersangkutan.
    (3)      Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya
        dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan
        pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
        umum dan tata cara perpajakan.
    (4)     Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur
        Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
        Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
    (5)     Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak
        sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
        menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau
        bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
        Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (6)     Dihapus.
    (7)     Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan
        Peraturan Menteri Keuangan.

12.     Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 16

    (1)      Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam
        suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
        ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
        huruf g.
    (2)      Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena
        Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
    (3)      Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
        kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung
        dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
        dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat
        (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
    (4)     Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
        dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung
        berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
        disetahunkan.

13.     Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7)
    diubah serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan
    ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 17

    (1)      Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
           a.     Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
            ------------------------------------------------------------------------------------------------
            l                 Lapisan Penghasilan Kena Pajak         l    Tarif Pajak    l
            ------------------------------------------------------------------------------------------------
                  l  sampai dengan Rp50.000.000,00             l    5%        l
            l (lima puluh juta rupiah)                 l    (lima persen)    l
            ------------------------------------------------------------------------------------------------     
            l di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)        l    15%         l
            l sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh     l     (lima belas persen)    l
            l juta rupiah)                         l            l
            ------------------------------------------------------------------------------------------------   
                  l di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta     l      25%         l
            l rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus     l(dua puluh lima persen)    l
            l juta rupiah)                         l            l
            ------------------------------------------------------------------------------------------------     
                  l di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)     l    30%        l
                 l                             l    (tiga puluh persen)    l
            ------------------------------------------------------------------------------------------------

           b.     Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua
            puluh delapan persen).
    (2)      Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling
        rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    (2a)      Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang
        mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
    (2b)     Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
        (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
        efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
        5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
        ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
    (2c)     Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak
        orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat
        final.
    (2d)     Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur
        dengan Peraturan Pemerintah.
    (3)     Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
        diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
    (4)     Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
        Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
    (5)     Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang
        pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung
        sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
        dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
    (6)     Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang
        penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
    (7)     Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
        sebagaimana tersebut pada ayat (1).

14.     Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di antara ayat
    (3a) dan ayat (4) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga Pasal
    18 berbunyi sebagai berikut :


                        Pasal 18

    (1)      Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan
        antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
        Undang-undang ini.
    (2)      Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
        negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
        menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
           a.     besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50%
            (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
           b.     secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
            modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
    (3)      Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
        pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
        Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
        sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
        dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode
        harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
    (3a)     Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
        sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar
        pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang
        berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
        renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
    (3b)     Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau
        badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan
        sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang
        bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
        terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
    (3c)     Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose
        company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan
        pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan
        atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
        sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
        di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
    (3d)     Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi
        kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak
        bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja
        mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
        tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan
        yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
    (3e)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur
        lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (4)     Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
        ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
           a.     Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
            25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
            dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
            atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
           b.     Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
            di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
           c.     terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
            lurus dan/atau ke samping satu derajat.
    (5)     Dihapus.

15.     Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 19

    (1)      Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan
        faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
        penghasilan karena perkembangan harga.
    (2)      Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif
        pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak
        tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

16.     Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan
    ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 21

    (1)      Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan
        nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
        negeri wajib dilakukan oleh:
           a.     pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
            lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
            bukan pegawai;
           b.     bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
            pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
           c.     dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
            dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
           d.     badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
            dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
           e.     penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
            pelaksanaan suatu kegiatan.
    (2)      Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-
        organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
    (3)      Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah
        jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang
        besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak
        Kena Pajak.
    (4)     Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak
        adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan
        pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    (5)     Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan
        Peraturan Pemerintah.
    (5a)     Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak
        yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada
        tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
    (6)     Dihapus.
    (7)     Dihapus.
    (8)     Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
        dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
        Keuangan.

17.     Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga
    Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 22

    (1)      Menteri Keuangan dapat menetapkan:
           a.     bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas
            penyerahan barang;
           b.     badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
            kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
           c.     Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
            yang tergolong sangat mewah.
    (2)      Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
        Keuangan.
    (3)      Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib
        Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen)
        daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
        Wajib Pajak.

18.     Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus
    dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu)
    ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 23

    (1)      Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
        dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
        pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
        atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
        usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
           a.     sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
                     1.     dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
                     2.     bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
                     3.     royalti; dan
                     4.     hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
                Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
           b.     dihapus;
           c.     sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
                     1.     sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
                sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
                dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
                     2.     imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
                jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
                sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
    (1a)     Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih
        tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
        angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (3)     Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
        untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)     Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
           a.     penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
           b.     sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
            hak opsi;
           c.     dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
            diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
           d.     dihapus;
           e.     bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
           f.     sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
           g.     dihapus; dan
           h.     penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
            berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
            Peraturan Menteri Keuangan.

19.     Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 24

    (1)      Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
        atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
        berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
    (2)      Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan
        yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
        terutang berdasarkan Undang-undang ini.
    (3)      Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan
        sebagai berikut:
           a.     penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham
            dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
            sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
           b.     penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
            gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau
            sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
           c.     penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
            negara tempat harta tersebut terletak;
           d.     penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
            negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
            kedudukan atau berada;
           e.     penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
            menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
           f.     penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
            serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah
            negara tempat lokasi penambangan berada;
           g.     keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada;
            dan
           h.     keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
            tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
    (4)     Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
        menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
    (5)     Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian
        dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus
        ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
    (6)     Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

20.     Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus,
    serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga Pasal 25
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 25

    (1)      Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
        Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
        Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
           a.     Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
            serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
           b.     Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
        dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
    (2)      Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
        sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu
        penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya
        angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
    (3)      Dihapus.
    (4)     Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
        lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut
        dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
    (5)     Dihapus.
    (6)     Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak
        dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
           a.     Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
           b.     Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
           c.     Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
            lewat batas waktu yang ditentukan;
           d.     Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
            Tahunan Pajak Penghasilan;
           e.     Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
            yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
            pembetulan; dan
           f.     terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
    (7)     Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
           a.     Wajib Pajak baru;
           b.     bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa,
            dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
            harus membuat laporan keuangan berkala; dan
           c.     Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol
            koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
    (8)     Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan
        telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak
        yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    (8a)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal
        31 Desember 2010.
    (9)     Dihapus.

21.     Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2)
    sampai dengan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a),
    serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 26

    (1)      Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang
        dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
        pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
        perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
        tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak
        yang wajib membayarkan:
           a.     dividen;
           b.     bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
            pengembalian utang;
           c.     royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
           d.     imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
           e.     hadiah dan penghargaan;
           f.     pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
           g.     premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
           h.     keuntungan karena pembebasan utang.
    (1a)      Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan
        kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
        menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
    (2)      Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam
        Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
        tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
        negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
    (2a)     Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
        ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
    (3)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    (4)     Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
        dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
        kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
        Peraturan Menteri Keuangan.
    (5)     Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4)
        bersifat final, kecuali:
           a.     pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
            dan huruf c; dan
           b.     pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
            luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
            tetap.

22.     Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 29

    Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus
    dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

23.     Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 31A

    (1)      Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/
        atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat
        diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
           a.     pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
            penanaman yang dilakukan;
           b.     penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
           c.     kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
           d.     pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
            sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan
            yang berlaku menetapkan lebih rendah.
    (2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu
        yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24.     Pasal 31B dihapus.

25.     Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 31C

    (1)      Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan
        Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah
        Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (2)      Dihapus.

26.     Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga
    berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 31D

    Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha
    panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah
    diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 31E

    (1)      Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00
        (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
        persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
        dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
        Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
    (2)      Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan
        dengan Peraturan Menteri Keuangan.

27.     Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 32

    Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini
    dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
    2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
    dan Tata Cara Perpajakan.

28.     Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai
    berikut:


                        Pasal 32B

    Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan
    di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan
    Peraturan Pemerintah.

29.     Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


                        Pasal 35

    Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut
    dengan Peraturan Pemerintah.


                        Pasal II

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1.     Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya
    berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
    Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
    2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.     Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya
    berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                        Disahkan di Jakarta
                        pada tanggal 23 September 2008
                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                        ttd

                        DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO




Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA



            LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133






                              PENJELASAN
                          ATAS

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                    NOMOR 36 TAHUN 2008

                        TENTANG

                     PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
                NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

I.    UMUM
    1.     Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang
        berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
        Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
        Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
        Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan
        Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang
        ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
        sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan
        negara dan pembangunan nasional.
    2.     Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan
        globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk dilakukan perubahan
        Undang-Undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung
        kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
    3.     Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip
        perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi,
        serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem
        self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak
        Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
           a.     lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
           b.     lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
           c.     lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
           d.     lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
           e.     lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam
            menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun
            penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah
            tertentu yang mendapat prioritas.
    4.     Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut perlu dilakukan
        perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
        beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
        Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
        meliputi pokok-pokok sebagai berikut:
           a.     dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan
            subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau
            pembebasan pajak dalam hal lainnya;
           b.     dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan
            prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi
            berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah
            dan disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana,
            pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan
            beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
           c.     untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap
            dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan
            dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu
            likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang.
            Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
            kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat
            menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran
            bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
            makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
            melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

II.     PASAL DEMI PASAL

    Pasal I

        Angka 1

            Pasal 1

                Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek
                pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
                tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau
                memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh
                penghasilan, dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
                dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
                tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian
                tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
                tahun pajak.

                Yang dimaksud dengan "tahun pajak" dalam Undang-Undang ini adalah tahun
                kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama
                dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu
                12 (dua belas) bulan.

        Angka 2

            Pasal 2

                Ayat (1)

                    Huruf a

                        Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal
                        atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan
                        yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek
                        pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu
                        ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
                        subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak
                        atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap
                        dapat dilaksanakan.

                    Huruf b

                        Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
                        merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
                        yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
                        perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
                        negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
                        dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
                        persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
                        organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
                        bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
                        bentuk usaha tetap.

                        Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
                        merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan
                        bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah,
                        misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
                        Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan
                        usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
                        penghasilan merupakan subjek pajak.

                        Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi,
                        persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang
                        mempunyai kepentingan yang sama.

                    Huruf c

                        Cukup jelas.

                Ayat (1a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
                    subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri
                    menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh
                    penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
                    Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat
                    didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar
                    negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib
                    Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
                    bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
                    penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha
                    tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang
                    pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan
                    objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
                    (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan
                    di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib
                    mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

                    Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib
                    Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya,
                    antara lain:
                       a.     Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik
                        yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar
                        Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak
                        hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
                        di Indonesia;
                       b.     Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan
                        penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak
                        luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
                        dengan tarif pajak sepadan; dan
                       c.     Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat
                        Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana
                        untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
                        pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib
                        menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                        Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
                        pemotongan pajak yang bersifat final.

                    Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
                    kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan
                    kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
                    kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana
                    diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur
                    mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

                Ayat (3)

                    Huruf a

                        Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak
                        dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal
                        atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang
                        pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka
                        yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
                        Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal
                        di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

                        Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus
                        delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi
                        ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada
                        di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
                        kedatangannya di Indonesia.

                    Huruf b

                        Cukup jelas.

                    Huruf c

                        Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
                        pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek
                        pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini
                        mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan
                        pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
                        menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila
                        warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya
                        beralih kepada ahli waris.

                        Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
                        pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak
                        menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
                        bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai
                        subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas
                        penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
                        dimaksud melekat pada objeknya.

                Ayat (4)

                    Huruf a dan huruf b

                        Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan
                        yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar
                        Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
                        penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa
                        melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak
                        bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia
                        tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
                        jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut
                        adalah subjek pajak luar negeri.

                        Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk
                        usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut
                        dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau
                        badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar
                        negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut
                        menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak
                        luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
                        di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau
                        diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan
                        pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri
                        tersebut.

                Ayat (5)

                    Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
                    tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa
                    tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan
                    komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
                    equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
                    transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui
                    internet.

                    Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
                    menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang
                    tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
                    bertempat kedudukan di Indonesia.

                    Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau
                    badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak
                    untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat
                    tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi
                    yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
                    tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap
                    mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
                    badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
                    di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
                    mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
                    dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
                    menjalankan perusahaannya sendiri.

                    Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
                    Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
                    apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi
                    asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
                    perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko
                    di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko
                    tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
                    pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
                    kedudukan di Indonesia.

                Ayat (6)

                    Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
                    penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang
                    mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
                    diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.

                    Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
                    badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan
                    demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak
                    hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih
                    didasarkan pada kenyataan.

                    Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
                    dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan
                    badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat
                    tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain
                    yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan
                    pemenuhan kewajiban pajak.

        Angka 3

            Pasal 3

                Ayat (1)

                    Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara
                    asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
                    pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat
                    mereka mewakili negaranya.

                    Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
                    berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar
                    jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.

                    Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
                    memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau
                    pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat
                    dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 4

            Pasal 4

                Ayat (1)

                    Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
                    dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
                    tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
                    Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
                    konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

                    Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak
                    memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
                    adanya tambahan kemampuan ekonomis.
                    Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
                    Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak
                    tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan
                    pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

                    Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
                    Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
                       i.     penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
                        pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
                        praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
                        sebagainya;
                       ii.     penghasilan dari usaha dan kegiatan;
                       iii.     penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun
                        harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan
                        keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
                        dipergunakan untuk usaha; dan
                       iv.     penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

                    Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
                    konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib
                    Pajak.

                    Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang
                    luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
                    dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
                    pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak
                    suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut
                    dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal),
                    kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila
                    suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final
                    atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak
                    boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

                    Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini
                    dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang
                    luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.

                    Huruf a

                        Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan
                        pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan
                        asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau
                        imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.

                        Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan
                        dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan
                        penghasilan.

                    Huruf b

                        Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian,
                        pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan,
                        hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.

                        Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang
                        diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya
                        imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan
                        benda-benda purbakala.

                    Huruf c

                        Cukup jelas.

                    Huruf d

                        Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih
                        tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai
                        perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan.
                        Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan
                        usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai
                        sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
                        tersebut adalah harga pasar.

                        Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam
                        kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar
                        Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut
                        dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
                        rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh
                        karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00
                        (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada
                        salah seorang pemegang sahamnya dengan harga
                        Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual
                        mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar
                        sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih
                        sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan
                        keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang
                        membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00
                        (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.

                        Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan
                        harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga
                        pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek
                        pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan
                        nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan,
                        pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
                        merupakan penghasilan.

                        Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham
                        atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara
                        harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya
                        merupakan penghasilan.

                        Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai
                        perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa
                        hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi
                        pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan
                        kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
                        derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
                        harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas
                        pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah
                        kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
                        termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
                        menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
                        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan
                        merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya
                        dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
                        di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

                        Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan
                        mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada
                        Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan
                        objek pajak.

                    Huruf e

                        Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
                        pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan
                        objek pajak.

                        Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah
                        dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu
                        sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian
                        tersebut merupakan penghasilan.

                    Huruf f

                        Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto
                        dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

                        Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas
                        nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat
                        obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
                        merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
                        diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

                    Huruf g

                        Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang
                        saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa
                        hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

                        Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
                        1)      pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak
                            langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
                        2)      pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi
                            jumlah modal yang disetor;
                        3)      pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
                            penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari
                            kapitalisasi agio saham;
                        4)     pembagian laba dalam bentuk saham;
                        5)     pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa
                            penyetoran;
                        6)     jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang
                            diterima atau diperoleh pemegang saham karena
                            pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
                            yang bersangkutan;
                        7)     pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari
                            modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang
                            lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
                            pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan
                            modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
                        8)     pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba,
                            termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-
                            tanda laba tersebut;
                        9)     bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
                        10)     bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
                        11)     pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota
                            koperasi;
                        12)     pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi
                            pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
                            perusahaan.

                        Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran
                        dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang
                        saham yang telah menyetor penuh modalnya dan
                        memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan
                        bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang
                        demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan
                        dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan
                        sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai
                        dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
                        perseroan yang bersangkutan.

                    Huruf h

                        Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang
                        dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara
                        berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
                           1.     penggunaan atau hak menggunakan hak cipta
                            di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah,
                            paten, desain atau model, rencana, formula atau
                            proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
                            kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
                            lainnya;
                           2.     penggunaan atau hak menggunakan peralatan/
                            perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
                           3.     pemberian pengetahuan atau informasi di bidang
                            ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
                           4.     pemberian bantuan tambahan atau pelengkap
                            sehubungan dengan penggunaan atau hak
                            menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
                            penggunaan atau hak menggunakan peralatan/
                            perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
                            pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
                            berupa:
                                  a)     penerimaan atau hak menerima rekaman
                                gambar atau rekaman suara atau keduanya,
                                yang disalurkan kepada masyarakat melalui
                                satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
                                serupa;
                                  b)     penggunaan atau hak menggunakan rekaman
                                gambar atau rekaman suara atau keduanya,
                                untuk siaran televisi atau radio yang
                                disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel,
                                serat optik, atau teknologi yang serupa;
                                  c)     penggunaan atau hak menggunakan
                                sebagian atau seluruh spektrum radio
                                komunikasi;
                           5.     penggunaan atau hak menggunakan film gambar
                            hidup (motion picture films), film atau pita video
                            untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran
                            radio; dan
                           6.     pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang
                            berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak
                            kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
                            sebagaimana tersebut di atas.

                    Huruf i

                        Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
                        diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun
                        sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
                        gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan
                        sewa gudang.

                    Huruf j

                        Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya
                        "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara
                        berulang-ulang dalam waktu tertentu.

                    Huruf k

                        Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap
                        sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang,
                        sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
                        sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat
                        ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya
                        Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha
                        Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk
                        perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya
                        sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek
                        pajak.

                    Huruf l

                        Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang
                        asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
                        dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
                        Keuangan yang berlaku di Indonesia.

                    Huruf m

                        Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana
                        dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.

                    Huruf n

                        Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

                    Huruf o

                        Cukup jelas.

                    Huruf p

                        Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan
                        akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan
                        yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak.
                        Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang
                        melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak
                        dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto
                        tersebut merupakan penghasilan.

                    Huruf q

                        Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi
                        yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat
                        konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
                        diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap
                        merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

                    Huruf r

                        Cukup jelas.

                    Huruf s

                        Cukup jelas.

                Ayat (2)
   
                    Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan
                    sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak.
                    Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
                    -     perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan
                        investasi dan tabungan masyarakat;
                    -     kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
                    -     berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak
                        maupun Direktorat Jenderal Pajak;
                    -     pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
                    -     memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
                    atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan
                    tersendiri dalam pengenaan pajaknya.

                    Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan
                    tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
                    pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
                    Pemerintah.

                    Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang
                    berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium
                    Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12
                    (dua belas) bulan.

                    Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi
                    Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.

                Ayat (3)

                    Huruf a

                        Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan
                        merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam
                        rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
                        kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak
                        yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil
                        zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
                        oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta
                        sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
                        agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh
                        lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
                        pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
                        berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan.
                        Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana
                        dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
                        zakat.

                        Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang
                        menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen
                        suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi
                        oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku
                        kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A
                        merupakan objek pajak.

                        Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan
                        objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam
                        garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
                        keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk
                        yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
                        dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
                        Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan
                        kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
                        hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

                    Huruf b

                        Cukup jelas.

                    Huruf c

                        Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima
                        oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi
                        badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima
                        sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka
                        berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan
                        merupakan objek pajak.

                    Huruf d

                        Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
                        kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
                        merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
                        bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam
                        bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan
                        imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil,
                        rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek
                        pajak.

                        Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau
                        kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak
                        yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib
                        Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma
                        penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk
                        natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi
                        yang menerima atau memperolehnya.

                        Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada
                        suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai
                        tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang
                        disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-
                        kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut
                        merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab
                        perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan
                        Wajib Pajak.

                    Huruf e

                        Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi
                        dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi
                        kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
                        dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek
                        Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
                        (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh
                        Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak
                        boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena
                        Pajak.

                    Huruf f

                        Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari
                        laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh
                        perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan
                        badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah,
                        dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan
                        dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
                        sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak
                        termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan "badan usaha
                        milik negara" dan "badan usaha milik daerah" pada ayat ini,
                        antara lain, adalah perusahaan perseroan (Persero), bank
                        pemerintah, dan bank pembangunan daerah.

                        Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau
                        bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut
                        di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar
                        negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi
                        sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau
                        bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.

                    Huruf g

                        Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini
                        hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah
                        mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
                        dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari
                        peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang
                        ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima
                        oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta
                        pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
                        waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti
                        mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu
                        iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.

                    Huruf h

                        Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai
                        Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi
                        dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
                        dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak
                        dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan
                        di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri
                        Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan
                        untuk pengembangan dan  merupakan dana untuk
                        pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian
                        hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan
                        pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang
                        berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang
                        tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri
                        Keuangan.

                    Huruf i

                        Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan
                        sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan
                        himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu
                        kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu,
                        bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut
                        bukan lagi merupakan objek pajak.

                    Huruf j

                        Cukup jelas.

                    Huruf k

                        Yang dimaksud dengan "perusahaan modal ventura" adalah
                        suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan
                        usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan
                        modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
                        Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau
                        diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk
                        sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan
                        usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil,
                        menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan
                        kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh
                        Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak
                        diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

                        Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura
                        memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
                        huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan
                        modal ventura bukan merupakan objek pajak.

                        Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan
                        kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh
                        prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan
                        ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan
                        pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.

                        Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif
                        pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan
                        modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura
                        diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum
                        mempunyai akses ke bursa efek.

                    Huruf l

                        Cukup jelas.

                    Huruf m

                        Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas
                        sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian
                        dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang
                        memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas
                        perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa
                        lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih
                        tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan
                        pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
                        Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan
                        paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa
                        lebih tersebut diterima atau diperoleh.

                        Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini,
                        maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan
                        pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian
                        dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka
                        kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari
                        instansi yang membidanginya.

                    Huruf n

                        Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan
                        Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak
                        tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada
                        Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau
                        sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

        Angka 5

            Pasal 6

                Ayat (1)

                    Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat
                    dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang
                    mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang
                    mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
                    Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
                    merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
                    administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan
                    sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat
                    lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
                    penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam
                    suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau
                    karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
                    penghasilan bruto.

                    Huruf a

                        Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya
                        sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
                        Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-
                        pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung
                        maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
                        untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
                        yang merupakan objek pajak.

                        Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk
                        mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
                        bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
                        sebagai biaya.

                        Contoh:

                        Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat
                        pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan
                        bruto yang terdiri dari:
                        a.     penghasilan yang bukan        Rp100.000.000,00
                            merupakan objek pajak
                            sesuai dengan Pasal 4 ayat (3)
                            huruf h  
                        b.     penghasilan bruto lainnya
                            sebesar                Rp300.000.000,00(+)
                                            ------------------------
                            Jumlah penghasilan bruto     Rp400.000.000,00

                        Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua
                        ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk
                        mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah
                        sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.

                        Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
                        membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya
                        sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek
                        pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.
                        Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat
                        dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

                        Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya
                        dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
                        penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk
                        keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas
                        pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
                        peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk
                        kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
                        Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk
                        kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya
                        perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi
                        tersebut merupakan penghasilan.

                        Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang
                        boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
                        dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam
                        bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati
                        rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
                        biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
                        merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk
                        natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam
                        Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan
                        bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
                        penghasilan.

                        Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari
                        penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang
                        wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik.
                        Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas
                        kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa,
                        jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
                        dikurangkan dari penghasilan bruto.

                        Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan
                        Pasal 18 beserta penjelasannya.

                        Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka
                        usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
                        Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak
                        Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.

                        Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara
                        biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya
                        yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang
                        benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan
                        dari penghasilan bruto.

                        Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan
                        sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau
                        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

                    Huruf b

                        Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
                        dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang
                        mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
                        pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
                        amortisasi.

                        Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan
                        Pasal 11A beserta penjelasannya.

                        Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran
                        di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar
                        sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.

                    Huruf c   

                        Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
                        oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya,
                        sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
                        pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri
                        Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

                    Huruf d

                        Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
                        menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau
                        dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
                        atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
                        memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan
                        bruto.

                        Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
                        dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
                        dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih
                        dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari
                        penghasilan bruto.

                    Huruf e

                        Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
                        berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan
                        secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
                        yang berlaku di Indonesia.

                    Huruf f

                        Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
                        dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk
                        menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan
                        perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

                    Huruf g

                        Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang,
                        dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
                        manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan
                        memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat
                        dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan
                        kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

                    Huruf h

                        Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat
                        dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
                        mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi
                        komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang
                        maksimal atau terakhir.

                        Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti
                        penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan
                        internal asosiasi dan sejenisnya.

                        Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam
                        ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau
                        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

                    Huruf i

                        Cukup jelas.

                    Huruf j

                        Cukup jelas.

                    Huruf k

                        Cukup jelas.

                    Huruf l

                        Cukup jelas.

                    Huruf m

                        Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan
                    ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto
                    didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
                    penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut
                    dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
                    tersebut.

                    Contoh :

                    PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
                    Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima)
                    tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
                    2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
                    2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
                    2012 : laba fiskal Rp N I H I L
                    2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
                    2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00

                    Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
                    Rugi fiskal tahun 2009         (Rp1.200.000.000,00)
                    Laba fiskal tahun 2010           Rp   200.000.000,00 (+)
                                    --------------------------
                    Sisa rugi fiskal tahun 2009     (Rp1.000.000.000,00)
                    Rugi fiskal tahun 2011         (Rp   300.000.000,00)
                    Sisa rugi fiskal tahun 2009     (Rp1.000.000.000,00)
                    Laba fiskal tahun 2012          Rp      N I H I L        (+)
                                    ----------------------------
                    Sisa rugi fiskal tahun 2009     (Rp1.000.000.000,00)
                    Laba fiskal tahun 2013          Rp   100.000.000,00 (+)
                                    ----------------------------
                    Sisa rugi fiskal tahun 2009     (Rp   900.000.000,00)
                    Laba fiskal tahun 2014          Rp    800.000.000,00 (+)
                                    -----------------------------
                    Sisa rugi fiskal tahun 2009     (Rp   100.000.000,00)

                    Rugi fiskal tahun 2009  sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
                    yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh
                    dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi
                    fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
                    hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan
                    tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun
                    2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

                Ayat (3)

                    Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi
                    dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan
                    Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana
                    dimaksud dalam Pasal 7.

        Angka 6

            Pasal 7

                Ayat (1)

                    Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak
                    orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan
                    jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya,
                    kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak.

                    Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
                    penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak
                    tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk
                    seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta
                    delapan ratus empat puluh ribu rupiah).

                    Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan
                    semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
                    sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak
                    angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
                    banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang
                    menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah anggota keluarga yang tidak
                    mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh
                    Wajib Pajak.

                    Contoh:

                    Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)
                    orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu
                    pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
                    pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau
                    anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
                    yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
                    Rp21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 +
                    (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat
                    pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila
                    penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami,
                    besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib
                    Pajak A adalah sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 +
                    Rp15.840.000,00).

                Ayat (2)

                    Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
                    dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak
                    pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.

                    Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin
                    dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua
                    lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena
                    Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009
                    tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

                Ayat (3)

                    Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang
                    untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan
                    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan
                    mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
                    perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

        Angka 7

            Pasal 8

                Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan
                keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian
                dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang
                dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala
                keluarga.

                Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
                secara terpisah.

                Ayat (1)

                    Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
                    tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai
                    penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu
                    kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal
                    penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
                    telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
                       a.     penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu
                        pemberi kerja, dan
                       b.     penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak
                        ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami
                        atau anggota keluarga lainnya.
                    Contoh:
                    Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
                    Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri
                    yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar
                    Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).  Apabila penghasilan isteri
                    tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak
                    oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
                    dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
                    sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung
                    dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri
                    tersebut bersifat final.

                    Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
                    misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar
                    Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan
                    isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00)
                    digabungkan dengan penghasilan A.
                    Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan
                    neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 +
                    Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas
                    penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan
                    terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
                    Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang
                    dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

                Ayat (2) dan ayat (3)

                    Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan
                    hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan
                    pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan
                    perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika
                    isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
                    sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
                    penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban
                    pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

                    Contoh:

                    Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian
                    pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki
                    untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah
                    sebagai berikut.

                    Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon
                    kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah
                    penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
                    rupiah).

                    Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut
                    adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima
                    puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri
                    pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
                    -     Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp11.020.000,00
                            -----------------
                                           250.000.000,00    
                    -     Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp16.530.000,00
                                           -----------------   
                                   250.000.000,00    


                Ayat (4)

                    Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
                    penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan
                    penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

                    Yang dimaksud dengan "anak yang belum dewasa" adalah anak yang
                    belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

                    Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah
                    berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan
                    pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya
                    berdasarkan keadaan sebenarnya.

        Angka 8

            Pasal 9

                Ayat (1)

                    Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan
                    antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan
                    sebagai biaya.

                    Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
                    adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung
                    dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
                    memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang
                    pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau
                    selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang
                    tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran
                    yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi
                    kewajaran.

                    Huruf a

                        Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
                        termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal,
                        pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan
                        pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada
                        pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
                        badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut
                        merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan
                        dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

                    Huruf b

                        Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan
                        adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh
                        perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
                        sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
                        perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh
                        perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham
                        atau keluarganya.

                    Huruf c

                        Cukup jelas.

                    Huruf d

                        Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
                        asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang
                        dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh
                        dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
                        pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan
                        asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.

                        Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh
                        pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran
                        tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai
                        yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan
                        Objek Pajak.

                    Huruf e

                        Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat
                        (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
                        dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak.
                        Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian
                        atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan
                        pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi
                        pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan
                        Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut
                        ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
                        dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang
                        menerimanya:
                           1.     penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
                            kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan
                            pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam
                            rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
                            mendorong pembangunan di daerah terpencil;
                           2.     pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan
                            keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
                            sarana keselamatan kerja atau karena sifat
                            pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti
                            pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja,
                            pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar
                            jemput karyawan, serta penginapan untuk awak
                            kapal dan yang sejenisnya; dan
                           3.     pemberian atau penyediaan makanan dan atau
                            minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan
                            dengan pelaksanaan pekerjaan.

                    Huruf f

                        Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi
                        pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang
                        juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran
                        untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
                        yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
                        pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman
                        usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi
                        kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
                        Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang
                        saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan
                        tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar
                        Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

                        Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli
                        lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00
                        (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00
                        (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
                        Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut
                        jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
                        dimaksud dianggap sebagai dividen.

                    Huruf g

                        Cukup jelas.

                    Huruf h

                        Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam
                        ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh
                        Wajib Pajak yang bersangkutan.

                    Huruf i

                        Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
                        menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan
                        penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
                        Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari
                        penghasilan bruto perusahaan.

                    Huruf j

                        Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang
                        modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu
                        kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.
                        Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan,
                        firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
                        terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang
                        boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

                    Huruf k

                        Cukup jelas.

                Ayat (2)

                    Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai
                    peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya
                    dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut
                    berperan terhadap penghasilan.
                    Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
                    penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan,
                    menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
                    manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai
                    biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan
                    dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa
                    manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.

        Angka 9

            Pasal 11

                Ayat (1) dan ayat (2)

                    Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai
                    masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai
                    biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
                    dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa
                    manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran
                    untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak
                    guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
                    tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan
                    dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
                    dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya
                    untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk
                    perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

                    Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
                    guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali"
                    adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna
                    usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak
                    tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya,
                    sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
                    dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.

                    Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini
                    dilakukan:
                       a.     dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
                        yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau
                        straight-line method); atau
                       b.     dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan
                        tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun
                        atau declining balance method).

                    Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara
                    taat asas.

                    Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan
                    dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat
                    disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.

                    Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun,
                    nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.

                    Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools)
                    yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.

                    Contoh penggunaan metode garis lurus:

                    Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu
                    miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya
                    setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00:20).

                    Contoh penggunaan metode saldo menurun:

                    Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009
                    dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima
                    puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat)
                    tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh
                    persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    l Tahun    l        Tarif         l    Penyusutan     l Nilai Sisa Buku    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    lHarga Perolehan                                             150.000.000,00    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    l 2009     l      50%         l 75.000.000,00    l75.000.000,00    l
                    l 2010     l      50%         l 37.500.000,00    l37.500.000,00    l
                    l 2011     l      50%         l 18.750.000,00    l18.750.000,00    l
                    l 2012     lDisusutkan sekaligus     l 18.750.000,00    l    0    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
  
                Ayat (3)

                    Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada
                    bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada
                    tahun pertama dihitung secara pro-rata.

                    Contoh 1:

                    Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
                    Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada
                    bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret
                    2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut
                    dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.

                    Contoh 2:

                    Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009
                    dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
                    rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun.
                    Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen),
                    maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    l Tahun    l        Tarif         l    Penyusutan     l Nilai Sisa Buku    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    lHarga Perolehan                                                100.000.000,00    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
                    l 2009     l    6/12 x 50%        l 25.000.000,00    l75.000.000,00    l
                    l 2010     l      50%         l 37.500.000,00    l37.500.000,00    l
                    l 2011     l      50%         l 18.750.000,00    l18.750.000,00    l
                    l 2012    l      50%        l   9.375.000,00    l  9.375.000,00    l
                    l 2013    lDisusutkan sekaligus     l   9.375.000,00    l    0    l
                    -----------------------------------------------------------------------------
               
                Ayat (4)

                    Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya
                    penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan
                    untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
                    bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan
                    dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak
                    dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

                    Contoh:

                    PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun
                    2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun
                    2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan
                    traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

                Ayat (6)

                    Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam
                    melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan
                    ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik
                    menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.

                    Yang dimaksud dengan "bangunan tidak permanen" adalah bangunan
                    yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama
                    atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa
                    manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau
                    asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.

                Ayat (7)

                    Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang
                    usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan
                    peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan
                    harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang usaha tertentu
                    tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
                    Peraturan Menteri Keuangan.

                Ayat (8) dan ayat (9)

                    Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta
                    dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.

                    Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto
                    dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan
                    biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan
                    atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada
                    tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian
                    asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai
                    kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.

                    Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat
                    diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat
                    mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah
                    sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian
                    asuransi tersebut.

                Ayat (10)

                    Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8),
                    dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat
                    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
                    nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak
                    yang mengalihkan.

                Ayat (11)

                    Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk
                    melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang
                    menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok
                    dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.

        Angka 10

            Pasal 11A

                Ayat (1)

                    Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
                    termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
                    hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat
                    lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
                       a.     dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa
                        manfaat; atau
                       b.     dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara
                        menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
                    Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan
                    metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta
                    tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.

                Ayat (1a)

                    Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga
                    amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata.

                    Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang
                    usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi
                    yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
                    Keuangan.

                Ayat (2)

                    Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta
                    tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi
                    Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.
                    Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
                    dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa
                    manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif
                    amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat
                    sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak
                    berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok
                    masa manfaat  yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa
                    manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa
                    manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan
                    kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.
                    Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta
                    tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok
                    masa manfaat 4 (empat) tahun.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase
                    tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase
                    perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi
                    pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh
                    kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
                    diproduksi.

                    Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari
                    yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk
                    memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran
                    tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
                    bersangkutan.

                Ayat (5)

                    Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan
                    gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam
                    serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut
                    diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah
                    paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.

                    Contoh:

                    Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang
                    mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar
                    Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan
                    persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang
                    bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi
                    mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh
                    persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada
                    tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi
                    yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
                    dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20%
                    (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus
                    juta rupiah).

                Ayat (6)

                    Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
                    komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
                    komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi
                    percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya
                    rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan
                    biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini
                    tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
                    pengeluaran.

                Ayat (7)

                    Contoh:

                    PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
                    minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00.
                    Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah
                    sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak
                    dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X
                    menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga
                    sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian
                    dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
                    Harga perolehan             Rp 500.000.000,00
                    Amortisasi yang telah dilakukan:    
                    100.000.000/200.000.000 barel (50%)     Rp 250.000.000,00
                    Nilai buku harta                 Rp 250.000.000,00
                    Harga jual harta             Rp 300.000.000,00

                    Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00
                    dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00
                    dibukukan sebagai penghasilan.

                Ayat (8)

                    Cukup jelas.

        Angka 11

            Pasal 14

                Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat
                penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan
                kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi
                dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun,
                disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan
                pembukuan.
                Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan 
                menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
                usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto
                tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.

                Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto
                bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
                dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
                penghitungan.

                Ayat (1)

                    Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
                    penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
                    disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan
                    tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
                       a.     tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu
                        pembukuan yang lengkap, atau
                       b.     pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak
                        ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

                    Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil
                    penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.

                    Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum
                    mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan
                    neto.

                Ayat (2)

                    Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh
                    Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
                    pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah
                    Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk
                    dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut,
                    Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur
                    Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
                    pajak yang bersangkutan.

                Ayat (3)

                    Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan
                    Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan
                    tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-
                    Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
                    perpajakan.

                    Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
                    norma dalam menghitung penghasilan neto.

                Ayat (4)

                    Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk
                    menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak
                    memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
                    waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
                    menyelenggarakan pembukuan.

                Ayat (5)

                    Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib
                    menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih
                    menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
                       a.     tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban
                        pencatatan atau pembukuan; atau
                       b.     tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan
                        atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan
                        pemeriksaan

                    sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang
                    sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang
                    bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau
                    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya
                    dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.

                Ayat (7)

                    Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran
                    bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan
                    perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak
                    untuk menyelenggarakan pembukuan.

        Angka 12

            Pasal 16

                Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
                besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal
                dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
                luar negeri.

                Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
                menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan
                cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

                Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma
                Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang
                diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

                Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
                dibedakan antara:
                   1.     Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
                    kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
                   2.     Wajib Pajak luar negeri lainnya.

                Ayat (1)

                    Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,
                    Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara
                    penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.
                    -     Peredaran bruto             Rp6.000.000.000,00
                    -     Biaya untuk mendapatkan, menagih,
                        dan memelihara penghasilan         Rp5.400.000.000,00(-)
                                            -------------------------
                    -     Laba usaha (penghasilan neto usaha)     Rp   600.000.000,00
                    -      Penghasilan lainnya     Rp50.000.000,00    
                    -     Biaya untuk mendapatkan,
                        menagih, dan memelihara
                        penghasilan lainnya
                        tersebut         Rp30.000.000,00(-)    
                                    ----------------------
                                            Rp     20.000.000,00(+)
                                            -------------------------
                    -     Jumlah seluruh penghasilan neto         Rp   620.000.000,00
                    -     Kompensasi kerugian             Rp     10.000.000,00(-)
                                            -------------------------
                    -     Penghasilan Kena Pajak
                        (bagi Wajib Pajak badan)         Rp   610.000.000,00
                    -     Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena
                        Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi
                        (isteri + 2 anak)             Rp     19.800.000,00(-)
                                            -------------------------
                    -     Penghasilan Kena Pajak        
                        (bagi Wajib Pajak orang pribadi)         Rp  590.200. 000,00
                                            ------------------------

                Ayat (2)

                    Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak
                    menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
                    dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
                    contoh sebagai berikut.
                    -     Peredaran bruto         Rp 4.000.000.000,00
                    -     Penghasilan neto (menurut Norma
                        Penghitungan) misalnya 20%     Rp    800.000.000,00
                    -     Penghasilan neto lainnya     Rp        5.000.000,00 (+)
                                        ----------------------------
                    -      Jumlah seluruh penghasilan neto     Rp    805.000.000,00
                    -     Penghasilan Tidak Kena Pajak
                        (isteri + 3 anak)         Rp      21.120.000,00 (-)
                                        ----------------------------
                        Penghasilan Kena Pajak         Rp    783.880.000,00 

                Ayat (3)

                    Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
                    kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara
                    penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan
                    cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan
                    dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk
                    menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
                    dengan cara penghitungan biasa.

                    Contoh:
                    -     Peredaran bruto         Rp10.000.000.000,00
                    -     Biaya untuk mendapatkan,
                        menagih, dan memelihara
                        penghasilan             Rp 8.000.000.000,00(-)
                                        --------------------------
                                        Rp  2.000.000.000,00
                    -      Penghasilan bunga         Rp       50.000.000,00
                    -     Penjualan langsung barang yang
                        sejenis dengan barang yang dijual
                        bentuk usaha tetap oleh 
                        kantor pusat         Rp 2.000.000.000,00    
                    -     Biaya untuk mendapatkan,
                        menagih, dan
                        memelihara
                        penghasilan         Rp1.500.000.000,00(-)
                                        -------------------------   
                                        Rp    500.000.000,00
                        Dividen yang diterima atau
                        diperoleh kantor pusat yang
                        mempunyai hubungan efektif
                        dengan bentuk usaha tetap     Rp1.000.000.000,00(+)
                                        ---------------------------
                                        Rp3.550.000.000,00
                    -     Biaya-biaya menurut
                        Pasal 5 ayat (3)             Rp   450.000.000,00(-)
                                        --------------------------
                    -     Penghasilan Kena Pajak         Rp3.100.000.000,00 

                Ayat (4)

                    Contoh:

                    Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai
                    subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka
                    waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00
                    (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena
                    Pajaknya adalah sebagai berikut.
                    Penghasilan selama 3 (tiga) bulan     Rp 150.000.000,00
                    Penghasilan setahun sebesar:    
                    (360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00     Rp  600.000.000,00
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak         Rp    15.840.000,00(-)
                                        -------------------------
                    Penghasilan Kena Pajak             Rp  584.160.000,00

        Angka 13

            Pasal 17

                Ayat (1)

                    Huruf a

                        Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak
                        orang pribadi:
                        Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
                        Pajak Penghasilan yang terutang:
                        5%   x  Rp50.000.000,00     = Rp    2.500.000,00
                        15% x Rp200.000.000,00     = Rp  30.000.000,00
                        25% x Rp250.000.000,00     = Rp  62.500.000,00
                        30% x Rp100.000.000,00     = Rp  30.000.000,00 (+)
                                           -------------------------
                                           Rp125.000.000,00
   
                    Huruf b

                        Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak
                        badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:

                        Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
                        Pajak Penghasilan yang terutang:
                        28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00

                Ayat (2)

                    Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan
                    diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan
                    selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku
                    efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
                    Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan
                    Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

                Ayat (2a)

                    Cukup jelas.
   
                Ayat (2b)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2c)

                    Cukup jelas.

                Ayat (2d)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
                    pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor
                    penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan
                    Keputusan Menteri Keuangan.

                Ayat (4)

                    Contoh:

                    Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan
                    tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.

                Ayat (5) dan ayat (6)

                    Contoh:

                    Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan
                    dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00
                    Pajak Penghasilan setahun:
                    5%   x Rp   50.000.000,00     = Rp     2.500.000,00
                    15% x Rp 200.000.000,00     = Rp   30.000.000,00
                    25% x Rp 250.000.000,00     = Rp   62.500.000,00
                    30% x Rp   84.160.000,00     = Rp   25.248.000,00 (+)
                                       -------------------------
                                          Rp 120.248.000,00

                    Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
                    ((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00

                Ayat (7)

                    Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk
                    menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis
                    penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
                    sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
                    dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut
                    didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan
                    pemerataan dalam pengenaan pajak.

        Angka 14

            Pasal 18

                Ayat (1)

                    Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan
                    untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara
                    utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan
                    penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat
                    perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan
                    antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan
                    antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran,
                    pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat.
                    Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak,
                    Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.

                    Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas
                    menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan
                    "kewajaran atau kelaziman usaha" adalah adat kebiasaan atau praktik
                    menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia
                    usaha.

                Ayat (2)

                    Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan
                    internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib
                    Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk
                    mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman
                    modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya
                    di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
                    diperolehnya dividen.

                    Contoh:

                    PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20%
                    pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd.
                    tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd.
                    memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu
                    miliar rupiah).

                    Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
                    diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

                Ayat (3)

                    Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
                    penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan
                    istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat
                    terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun
                    pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
                    demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
                    kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan
                    seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat
                    hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
                    dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara
                    pihak yang independen (comparable uncontrolled price method),
                    metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya
                    -plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode
                    pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional
                    (transactional net margin method).

                    Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
                    terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai
                    utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
                    utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat
                    dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
                    modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak
                    dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi
                    lainnya.

                    Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
                    yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan
                    untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima
                    atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang
                    dikenai pajak.

                Ayat (3a)

                    Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah
                    kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak
                    mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-
                    pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties)
                    dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi
                    terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing
                    oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan
                    Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal,
                    antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan
                    lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain
                    memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
                    Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan
                    produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
                    sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan
                    antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral,
                    yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan
                    negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah
                    yurisdiksinya.

                Ayat (3b)

                    Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh
                    Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada
                    suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar
                    negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose
                    company).

                Ayat (3c)

                    Contoh:

                    X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara
                    yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki
                    95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan
                    bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan
                    antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh
                    Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai
                    perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.

                    Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd.
                    kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal
                    formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan
                    luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
                    Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan
                    kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib
                    Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini
                    terutang Pajak Penghasilan.

                Ayat (3d)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3e)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena
                    ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
                    disebabkan:
                       a.     kepemilikan atau penyertaan modal; atau
                       b.     adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
                        teknologi.

                    Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib
                    Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah
                    atau perkawinan.

                    Huruf a

                        Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
                        kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25%
                        (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun
                        tidak langsung.

                        Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham
                        PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan
                        langsung.

                        Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50    % (lima puluh
                        persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B
                        secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
                        sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian,
                        antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan
                        istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
                        persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D
                        dianggap terdapat hubungan istimewa.

                        Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi
                        antara orang pribadi dan badan.

                    Huruf b

                        Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi
                        karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
                        teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

                        Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih
                        perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
                        Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
                        berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

                    Huruf c

                        Yang dimaksud dengan "hubungan keluarga sedarah dalam
                        garis keturunan lurus satu derajat" adalah ayah, ibu, dan anak,
                        sedangkan "hubungan keluarga sedarah dalam garis
                        keturunan ke samping satu derajat" adalah saudara.

                        Yang dimaksud dengan "keluarga semenda dalam garis
                        keturunan lurus satu derajat" adalah mertua dan anak tiri,
                        sedangkan "hubungan keluarga semenda dalam garis
                        keturunan ke samping satu derajat" adalah ipar.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

        Angka 15

            Pasal 19

                Ayat (1)

                    Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan
                    kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian
                    antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya
                    beban pajak yang kurang wajar.
                    Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang
                    menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap
                    (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 16

            Pasal 21

                Ayat (1)

                    Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun
                    berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
                    atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
                    sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib
                    melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara
                    pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara
                    kegiatan.

                    Huruf a

                        Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak
                        adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk,
                        cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar
                        atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
                        pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus,
                        pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan
                        dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.
                        Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi
                        internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban
                        memotong pajak.

                        Yang dimaksud dengan "pembayaran lain" adalah
                        pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah,
                        tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus,
                        gratifikasi, dan tantiem.

                        Yang dimaksud dengan "bukan pegawai" adalah orang pribadi
                        yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi
                        kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya
                        artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari
                        pemberi kerja.

                    Huruf b

                        Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat,
                        Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
                        lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar
                        Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah,
                        tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan
                        dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

                        Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
                        pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang
                        sama.

                    Huruf c

                        Yang termasuk "badan lain", misalnya, adalah badan
                        penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
                        membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan
                        hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama
                        apa pun.

                        Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau
                        pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang
                        dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan
                        kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan
                        penerima tabungan hari tua.

                    Huruf d

                        Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi
                        internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2).
                        Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah
                        dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan
                        bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
                        untuk dan atas nama persekutuannya.

                    Huruf e

                        Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas
                        pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun
                        yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
                        negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian
                        penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan
                        pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional,
                        perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang
                        menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan,
                        misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
                    penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun
                    termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang
                    dibayar oleh pegawai.

                    Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
                    jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan
                    Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk
                    juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.

                Ayat (4)

                    Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian,
                    mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah
                    penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak
                    dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
                    Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena
                    Pajak yang berlaku.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

                Ayat (5a)

                    Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh
                    Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.

                    Contoh:   

                    Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00

                    Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang
                    memiliki NPWP adalah:
                    5%   x Rp50.000.000,00     = Rp2.500.000,00
                    15% x Rp25.000.000,00     = Rp3.750.000,00 (+)
                                   -----------------------
                        Jumlah           Rp6.250.000,00

                    Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak
                    memiliki NPWP adalah:
                    5%   x 120% x Rp50.000.000,00     = Rp3.000.000,00
                    15% x 120% x Rp25.000.000,00     = Rp4.500.000,00 (+)
                                       -----------------------
                                Jumlah        Rp7.500.000,00

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.

                Ayat (7)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8)

                    Cukup jelas.

        Angka 17

            Pasal 22

                Ayat (1)

                    Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut
                    pajak adalah:
                    -     bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah
                        Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
                        dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
                        pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam
                        pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain
                        yang menjalankan fungsi yang sama;
                    -     badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta,
                        berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
                        usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang
                        tertentu antara lain otomotif dan semen; dan
                    -     Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari
                        pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
                        Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan
                        dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi
                        kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah
                        baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti
                        kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan
                        kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

                    Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan
                    mempertimbangkan, antara lain:
                    -     penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi
                        pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
                    -     tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
                    -     prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah
                        dilaksanakan.

                    Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk
                    meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana
                    melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan,
                    kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan
                    dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini
                    dapat bersifat final.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
                    Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok
                    Wajib Pajak.

        Angka 18

            Pasal 23

                Ayat (1)

                    Cukup jelas.

                Ayat (1a)

                    Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib
                    Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok
                    Wajib Pajak.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Cukup jelas.

        Angka 19

            Pasal 24

                Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
                penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
                negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena
                pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
                ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan
                yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
                pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

                Ayat (1)

                    Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
                    dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah
                    pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
                    diperoleh Wajib Pajak.

                    Contoh:

                    PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc.
                    di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh
                    keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku
                    di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.

                    Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
                    Keuntungan Z Inc                 US$ 100,000.00
                    Pajak Penghasilan (Corporate income tax)    
                    atas Z Inc.: (48%)                 US$   48,000.00 (-)
                                            ----------------------
                                            US$   52,000.00
                    Pajak atas dividen (38%)             US$   19,760.00  (-)
                                            -----------------------
                    Dividen yang dikirim ke Indonesia         US$   32,240.00

                    Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
                    Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung
                    dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar
                    negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.

                    Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar
                    US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
                    yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut
                    tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau
                    diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas
                    keuntungan Z Inc. di negara X.

                Ayat (2)

                    Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara
                    penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan
                    penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya
                    pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan
                    terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi
                    besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara
                    penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh
                    Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada
                    ayat (6).

                Ayat (3) dan (4)

                    Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau
                    terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
                    terutang menurut Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan
                    menjadi sangat penting.
                    Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber
                    penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.

                    Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang
                    luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber
                    dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan
                    prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat
                    (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki
                    sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut
                    dijual.
                    Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan
                    penghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut
                    terletak di Singapura.

                Ayat (5)

                    Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas
                    penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak
                    yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya
                    perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak
                    Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya,
                    dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas
                    penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00
                    yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan
                    terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah
                    sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan
                    yang terutang dalam tahun pajak 1996.

                Ayat (6)

                    Cukup jelas.

        Angka 20

            Pasal 25

                Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan
                yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.

                Ayat (1)

                    Contoh 1:

                    Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
                    Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009        Rp 50.000.000,00
                    dikurangi:    
                    a.     Pajak Penghasilan yang dipotong
                        pemberi Kerja (Pasal 21)         Rp 15.000.000,00
                    b.     Pajak Penghasilan yang dipungut
                        oleh pihak lain (Pasal 22)         Rp 10.000.000,00
                    c.     Pajak Penghasilan yang dipotong
                        oleh pihak lain (Pasal 23)         Rp   2.500.000,00
                    d.     Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
                        (Pasal 24)                 Rp   7.500.000,00(+)
                                            ------------------------
                        Jumlah kredit pajak             Rp 35.000.000,00(-)
                                            ------------------------
                        Selisih                     Rp 15.000.000,00

                        Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap
                        bulan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp 1.250.000,00
                        (Rp15.000.000,00 dibagi 12).

                    Contoh 2:

                    Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh
                    di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
                    untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam
                    tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri
                    setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00
                    (Rp15.000.000,00 dibagi 6).

                Ayat (2)

                    Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
                    Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan
                    ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah
                    akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak
                    yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
                    sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
                    belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).

                    Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk
                    bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
                    disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
                    Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir
                    dari tahun pajak yang lalu.

                    Contoh:

                    Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
                    oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya
                    angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan
                    Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009,
                    misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

                    Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan
                    pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak
                    sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil,
                    besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan
                    Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009,
                    yaitu nihil.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk
                    tahun pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat
                    ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku
                    mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan
                    pajak.

                    Contoh:

                    Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
                    pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010,
                    perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah
                    sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
                    Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun
                    pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan
                    sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

                    Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak
                    mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
                    Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan
                    pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran
                    pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

                Ayat (5)

                    Cukup jelas.

                Ayat (6)

                    Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib
                    Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan
                    mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh
                    karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Direktur
                    Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan perhitungan
                    besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
                    dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib
                    Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau
                    terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

                    Contoh 1:
                    -     Penghasilan PT X tahun 2009         Rp 120.000.000,00
                    -     Sisa kerugian tahun sebelumnya
                        yang masih dapat dikompensasikan     Rp 150.000.000,00
                    -     Sisa kerugian yang belum
                        dikompensasikan tahun 2009         Rp   30.000.000,00

                    Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
                    Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak
                    Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 - Rp30.000.000,00 =
                    Rp90.000.000,00.

                    Pajak Penghasilan yang terutang:
                    28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00

                    Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
                    atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang
                    di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya
                    angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00=
                    Rp2.100.000,00.

                    Contoh 2:

                    Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha
                    dagang Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan
                    penghasilan tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua
                    juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan
                    Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010
                    adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.

                    Contoh 3:

                    Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi
                    karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak
                    di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran
                    bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

                    Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu,
                    berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009
                    angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari
                    Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

                    Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya
                    adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena
                    Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
                    kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur
                    Jenderal Pajak.

                Ayat (7)

                    Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam
                    tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi
                    kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar
                    penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip
                    tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran
                    perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data
                    terkini kegiatan usaha perusahaan.

                    Huruf a

                        Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
                        melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur
                        perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum
                        pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                        Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan
                        atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

                    Huruf b

                        Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan,
                        badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah,
                        serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
                        berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
                        keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran
                        tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan laporan
                        yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu
                        periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat
                        dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan
                        besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.

                    Huruf c

                        Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu
                        Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih
                        tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar
                        0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.

                Ayat (8)

                    Cukup jelas.

                Ayat (8a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (9)

                    Cukup jelas.

        Angka 21

            Pasal 26

                Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari
                Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu
                pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri
                yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
                tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi
                Wajib Pajak luar negeri lainnya.

                Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber
                di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
                usaha tetap.

                Ayat (1)

                    Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh
                    badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
                    kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
                    lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri
                    selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua
                    puluh persen) dari jumlah bruto.
   
                    Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat
                    digolongkan dalam:
                       1.     penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen,
                        bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
                        jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta
                        penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
                       2.     imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
                       3.     hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
                        apa pun;
                       4.     pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
                       5.     premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
                       6.     keuntungan karena pembebasan utang.

                    Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam
                    negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
                    rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri
                    tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar
                    20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                    Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut
                    mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia
                    kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai
                    pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

                Ayat (1a)

                    Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
                    usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap
                    di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan
                    berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang
                    sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
                    owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan
                    berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal
                    atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan
                    dimaksud.

                    Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya
                    adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau
                    berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara
                    domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima
                    puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun
                    bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.

                Ayat (2)

                    Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan
                    yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber
                    di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada
                    ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan
                    premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut
                    dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
                    penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan
                    wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto
                    dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan
                    pajak tersebut.

                    Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri
                    tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
                    bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari
                    penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan
                    Pasal 4 ayat (2).

                Ayat (2a)

                    Cukup jelas.

                Ayat (3)

                    Cukup jelas.

                Ayat (4)

                    Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk
                    usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
                    persen).

                    Contoh:
                    Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun
                    2009                        Rp17.500.000.000,00
                    Pajak Penghasilan:
                    28% x Rp17.500.000.000,00     =     Rp  4.900.000.000,00 (-)
                                        -----------------------------
                    Penghasilan Kena Pajak setelah pajak     Rp12.600.000.000,00

                    Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
                    20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00

                    Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua
                    belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali
                    di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
                    Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

                Ayat (5)

                    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri
                    adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud
                    dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan
                    Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
                    menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
                    pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak
                    tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
                    Penghasilan.

                    Contoh:

                    A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja
                    dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja
                    di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai
                    tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja
                    tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan
                    berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

                    Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap
                    sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian
                    kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi
                    Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.
                    Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan
                    bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

                    Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan
                    yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan
                    Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan
                    disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat
                    dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

        Angka 22

            Pasal 29

                Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan
                pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini
                sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan
                paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
                Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut
                wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi
                atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan
                apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai
                tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling
                lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober
                bagi Wajib Pajak badan.

        Angka 23

            Pasal 31A

                Ayat (1)

                    Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-Undang
                    perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
                    semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
                    perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
                    peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan
                    dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu
                    pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
                    tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan
                    tersebut.

                    Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong
                    kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman
                    modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang
                    usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
                    prioritas tinggi dalam skala nasional.

                    Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan
                    perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan,
                    investasi, dan bidang lainnya.

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 24

            Pasal 31B

                Cukup jelas.

        Angka 25

            Pasal 31C

                Cukup jelas.

        Angka 26

            Pasal 31D

                Cukup jelas.

            Pasal 31E

                Ayat (1)

                    Contoh 1:

                    Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar
                    Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan
                    Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
                    rupiah).

                    Penghitungan pajak yang terutang:

                    Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto
                    tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
                    Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto
                    PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
                    juta rupiah).

                    Pajak Penghasilan yang terutang:

                    (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

                    Contoh 2:

                    Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar
                    Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan
                    Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

                    Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

                       1.     Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
                        yang memperoleh fasilitas:
                              (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x
                        Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
                       2.     Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
                        yang tidak memperoleh fasilitas:
                              Rp3.000.000.000,00-Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00

                        Pajak Penghasilan yang terutang:
                        -     (50% x 28%) x Rp480.000.000,00
                                            =Rp  67.200.000,00
                        -     28% x Rp2.520.000.000,00     =Rp705.600.000,00(+)
                                              ------------------------
                            Jumlah Pajak Penghasilan
                            yang terutang                   Rp 772.800.000,00

                Ayat (2)

                    Cukup jelas.

        Angka 27

            Pasal 32

                Cukup jelas.

        Angka 28

            Pasal 32B

                Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat
                mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan
                pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain.
                Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara
                lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain
                tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

        Angka 29

            Pasal 35

                Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup
                diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan
                yang diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-
                baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.

    Pasal II

        Angka 1

            Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau
            sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun
            pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
            Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
            dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
            Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang
            tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai
            tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
            Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
            Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
            1983 tentang Pajak Penghasilan.

        Angka 2

            Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau
            sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun
            pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
            Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
            dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
            Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib
            Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung
            pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
            tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
            Undang-Undang ini.




            TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893

No comments:

Post a Comment