UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, sangat mendesak untuk
memperkuat basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan
yang lebih stabil;
b. bahwa pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sangat efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional;
c. bahwa karena masih banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sehingga Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
memberikan perpanjangan waktu yang merupakan langkah tepat untuk memperkuat basis perpajakan
nasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menjadi Undang-Undang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4953)
ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 62
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan salah satu tonggak perubahan
yang mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia. Undang-Undang ini disusun dengan tujuan
antara lain untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak,
meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta meningkatkan keterbukaan administrasi
perpajakan dan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan
negara dari sektor perpajakan.
Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan
ketentuan khusus yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk lebih terbuka dan jujur
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang telah lalu. Apabila Wajib Pajak menyampaikan
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 yang
mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa
bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajaknya.
Dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, sangat mendesak untuk memperkuat basis
perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil.
Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sangat
efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional.
Menjelang berakhirnya jangka waktu pemberian fasilitas pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, masih banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas
dimaksud, namun mengalami kendala kurangnya waktu dalam mempersiapkan penyampaian
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, perlu segera memperpanjang jangka waktu pelaksanaan
ketentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Berdasarkan amanat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal 2
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4999
====================================================================
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang
teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan material di bidang
perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566);
b. Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/
atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi
dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/
atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
25. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi
suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adaiah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai ke!engkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu da!am peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan
Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan
pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oteh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan
Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
disampaikan secara langsung.
41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima
secara langsung.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
a. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada
ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu.
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun
sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/
atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/
atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak daiam jangka waktu 6 (enam) bulan
untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(1 a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa,
dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya
mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat
Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil
dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling
lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3a) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu)
Surat Pemberitahuan Masa.
(3b) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3c) Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan
oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada
Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan
sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai
bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus
dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga)
tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan .
Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
(7a) Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.
(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.
(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi
dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan.
(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasiian Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasiian Kena Pajak.
(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalan laporan keuangan dari
masing-masing Wajib Pajak.
(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan
Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap
tidak lengkap dan tidak Jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
Pasal 6
(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib
Pajak diberikan bukti penerimaan.
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti
pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan
sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa
lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang beriaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan
paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) buian.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak
jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak
yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran
sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masin harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
(6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima
surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15
(lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai
dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang
berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa
apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk
melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(1 a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak
dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B,
atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagamana dimaksud dalam Pasat 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian
kelebihan.
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
13. Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4a).
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak;
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut
tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan apabila dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
(5) Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
14. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13A
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan
Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumtah pajak yang terutang beserta
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
15. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hat penyerahan dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
(4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang,
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan
Pajak.
(5) Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih
kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
16. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
(4) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah Jangka waktu 5 (lima) tahun
tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan
yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan.
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis mengenai hat-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan
sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
18. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang Iebih dibayar jumlahnya lebih besar
daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
19. Ketentuan Pasal 17A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
pembayaran pajak.
(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17B
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua
belas ) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan,
tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi
diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
21. Ketentuan Pasal 17C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17C
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun
berturut-turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2
(dua) Masa Pajak berturut-turut;
c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3
(tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan,
22. Di antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17D dan Pasal 17E yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17 D
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3
(tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Pasal 17 E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak
di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
23. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
(2) Dihapus.
24. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah
pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan
pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung
dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
25. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Atas Jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat
Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha
atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
26. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung
Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau
orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta
Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur
lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk memnbayar utang pajak Wajib Pajak
tersebut.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran
maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan
diberikan.
27. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
28. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Dihapus.
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada
badan peradilan pajak.
(3) Dihapus.
29. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
30. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
(3) Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan
melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Surat Keputusan Keberatan.
(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
31. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan,
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya
atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus
dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
32. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26A
(1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
(3) Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses
keberatan tetap dapat diselesaikan.
(4) Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi
yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan,
catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatannya.
33. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata
usaha negara.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan
Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(4) Dihapus.
(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
(5) Dihapus.
(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan
Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2)
diatur dengan undang-undang.
34. Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana
dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii.
(1a) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
(3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan
bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
35. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 28
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel
kas.
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang.
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek
pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(10) Dihapus.
(11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan
Wajib Pajak badan.
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
36. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa
dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib
Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak
permintaan disampaikan.
(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat
dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung
secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan
yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
37. Ketentuan Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 29 A
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif
oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan
Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang :
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B;atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko dapat dilakukan pemeriksaan melalui
Pemeriksaan Kantor.
38. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 30
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (3) huruf b.
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri keuangan.
39. ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 31
(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya mengatur tentang
pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena
pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
40. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 32
(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan
dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar
tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
41. Ketentuan Pasal 33 dihapus.
Pasal 33
Dihapus.
42. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 34
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan
memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka
atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
43. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 35
(1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi
, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang
dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang
perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib
memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank,
kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
(3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban
merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
44. Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 35A
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur
Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan
negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
45. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan suart ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 yang tidak benar;atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa :
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat
diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib
Pajak 1 (satu) kali.
(1c) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas
permohonan yang diajukan.
(1d) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
(1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian
permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
(2) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), ayat (1e) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 36A
(1) Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan
pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
kewenangannya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat
diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan
dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 368 Kitab undang-Undang
Hukum Pidana.
(4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu,
untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya.
(5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundng-undangan perpajakan.
47. Di antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D
yang berbunyi sebagai berikut :
pasal 36B
(1) Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.
(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai
Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh komite Kode Etik yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36C
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36D
(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
48. Diantara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 37A
(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setalah berlakunya Undang-Undang ini
diberikan penghapusan sanksi adminstrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk
Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan
pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan
yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.
49. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap , atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang
pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
50. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 39
(1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali
sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
51. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya;atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
52 Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 41
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp.25.000.000.00 ( dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.
53. Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
54. Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
55. Diantara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 41C
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
56. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 43
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan.
57. Sebelum Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1(satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 43A
(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang
melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas
Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di
lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana
Korupsi.
(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
58. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 44
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat pegawai
Negeri Sipil tertentu dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(4) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
59. Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 44B
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidik tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar
atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak
seharusnya dikembalikan.
Pasal II
1. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007
yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun
Pajak 2013.
3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 85
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
I. UMUM
1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara
perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali
dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakannya.
2. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari
bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta
mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material
di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan,
dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
3. Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang
sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang ini dengan tetap
menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan
peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga
masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan
lebih baik.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
negara;
b. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah;
c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
perkembangan di bidang teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
e. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
f. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten;dan
g. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan
membaiknya iklim usaha.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai
Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan
ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk
melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita
kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar
wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban
perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib
Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu,
Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga
ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok
Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak
Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan,
sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan
usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat
kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga
berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta
untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai
Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat
Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2),
sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Seiain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar
di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai
toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan
usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau
Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan
objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap
Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan
kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan
ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya
timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena
hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan
pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Angka 3
Pasal 2A
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung
jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang:
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. penghasiian yang merupakan objek pajak dan/atau bukan
objek pajak;
c. harta dan kewajiban; dan/atau
d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau
badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang:
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak
lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung
jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi
formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam
bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan
petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas
dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar
dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan
dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan
jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau
pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib
Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor
Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau
oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil
Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses
situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat
Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur
Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada
Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha
kecil, dapat:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus
dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib
dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut
dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang
terakhir; dan/atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang
disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus
dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa
Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang
bersangkutan.
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak
dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang
te!ah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya
kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan
keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas
waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu
yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau
dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik
kepada Direktur Jenderal PaJak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu
pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib
Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan
pemberitahuan sementara denganmenyebutkan besarnya pajak yang
harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak
sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan
perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan
batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan
dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggung
jawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam
rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan,
keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang
digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-
kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah
Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan
kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib
Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah
Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya
adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat
Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib
Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran
yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan
dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian,
Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang
menyatakan lebin bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan
Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat
Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak
melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak,
Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi
atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan
Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu
diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib
Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing
Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut,
PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan
konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan
keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B
dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing,
bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat
hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian
tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar,
Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut
pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain
bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat
Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti
penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap,
yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Angka 7
Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Angka 8
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan
pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud
dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib
Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah
dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5
(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas
kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang
terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi
berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud
dengan "1 (satu) bulan" adalah Jumlah hari dalam bulan kalender
yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai
dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan"
adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh,
misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah
dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan
kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar,
terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum,
kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan
tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib
Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat
Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau
Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa.
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan
keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak
yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran
laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan
pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan
pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat
diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak
yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang
telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun
berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan
penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak
Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3
(tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa
menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat
Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan
pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau
beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal
Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jeiasnya diberikan contoh sebagai
berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp 200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2007 sebesar Rp 150.000.000,00 (-)
__________________
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 50.000.000,00
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010
diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
sebesar Rp 70.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak
akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008
menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto Rp 200.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 Rp 70.000.000.00 (-)
__________________
Penghasilan Kena Pajak Rp 130.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan
yang semula
Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah
pembetulan menjadi
Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp 300.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun 2007 sebesar Rp 200.000.000.00 (-)
__________________
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 100.000.000,00
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010
diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
sebesar Rp 250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak
akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008
menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto Rp 300.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 Rp 250.000.000.00 (-)
__________________
Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan
yang semula
Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) setelah
pembetulan menjadi
Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 250.000.000,00).
Angka 9
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan
dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran
atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga
tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008
sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008
dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008.
Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
sebagai berikut:
1 x2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh
tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama
12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-
benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Angka 10
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan
pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda
pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan
pembayaran pajak dan administrasinya.
Angka 11
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih
lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut
tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi
semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya,
kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu
dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih,
dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban
administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak
ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung
sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal
17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan
Banding oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang
berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak
diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor
Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang melaksanakan
putusan pengadilan
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib
Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap
keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1
(satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak
yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi
perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong
oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas
kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun
yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara
melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua
Surat Pembehtahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah
menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara
benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak
perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata
melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Angka 13
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya
terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau
kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret
yang diperoieh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain
berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak
Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan
kurun waktu 5 (lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib
Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena
dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan
dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau
kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan,
dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal
Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib
Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak
tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk
memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat
dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya
walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan
dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini
dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan
alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat
Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force
majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan
di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi
administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus person).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa
tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah
pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan,
yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya
diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar
penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak
dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran
tidak jelas;
2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga
angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang
diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau
data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari
sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan
iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan
kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi
administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu)
bulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan
lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga
dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua)
tahun.
Contoh: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun
Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan tepat waktu.
Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung
sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
2. Pajak yang terutang
(30% x Rp100.000.000,00) Rp 30.000.000,00
3. Kredit pajak Rp 10.000.000.00 (-)
___________________
4. Pajak yang kurang dibayar Rp 20.000.000,00
5. Bunga 24 bulan
(24 x 2% x Rp 20.000.000,00) Rp 9.600.000,00 (+)
___________________
6. Jumlah pajak yang masih
harus dibayar Rp 29.600.000,00
Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor
pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa
Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak
karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi
berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus
ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda
menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang
dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan
yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan
dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self
assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya
Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat
ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan
dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan
Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya
atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (5)
Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan
negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat
ketetapan pajak.
Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan
melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari
5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang
disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum
tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib
Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan
penyelundupan yang dalam putusan pengadiian tersebut
menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai
pajak.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang
terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk
diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%
(empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 13A
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama
kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan
Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
dibayar.
Angka 15
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya
dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya
dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas
Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar; atau
b. penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak
kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah
hitung.
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan
sebesar Rp 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap
tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September
2008 dengan penghitungan sebagai berikut :
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
Juni 2008
(Rp100.000.000,00-Rp 40.000.000,00)
= Rp 60.000.000,00
- Bunga = 3 x 2% x Rp 60.000.000,00
= Rp 3.600.000,00
_______________
- Jumlah yang harus dibayar = Rp 63.600.000,00
2. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah
dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar
Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan
tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal
12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar
Pajak Penghasilan = Rp1.000.000,00
- Bunga =
3 x 2%x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000.00 (+)
_______________
- Jumlah yang harus
dibayar = Rp 1.060.000,00
Ayat (4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun
Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak
tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari
Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur
pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang
sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak,
sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah
atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil
ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak
yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi
atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah
diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu
dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya
diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan
berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan
pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan
surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru
termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak
sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12
(dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam
hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum
terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data
yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru
termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui
kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung
besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula
belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan
keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar
dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat
Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan,
tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan
cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan
tertulis adanya biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan
sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000.00
biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya
adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan
atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa
sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan
disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan
tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti
kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang
seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud
bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan
ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan
pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi,
sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak
benar, maka data tersebut termasuk data yang semula
belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah
barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian
tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan
produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan
sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung.
Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak
Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak
tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut
dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai
akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui
adanya data atau keterangan tentang kesalahan
mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data
atau keterangan tersebut merupakan data yang semula
belum terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata
masih ditemukan data baru termasuk data yang belum
terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar
penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih
dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan,
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%
(empat puluh delapan persen) dari Jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka
menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu
dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan
tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib
Pajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus
maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau
kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena
kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;
f. Surat Keputusan Keberatan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
J. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat
ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,
dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari
penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/
atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan
dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak
Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan
pajak.
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan,
mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat
kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan
lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang
diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur
Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai
dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang
dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;
atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak
yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah
dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan
Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar
yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan
untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan
pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama
dengan jumlah paJak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak
yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah
Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara
lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil
pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan
bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib
Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut
dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu
keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan
tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian dari
bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan
penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam
Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah
Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit
pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat
Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai
dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga)
Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana
dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa
Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah
keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum
melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian
tunggakan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian
pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan
pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut
diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp 80.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar
Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
- Pajak Penghasilan Pasal 22
Rp20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23
Rp40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25
Rp90.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut:
- Pajak Penghasilan yang terutang sebesar
Rp 100.000.000,00
- Kredit Pajak:
- Pajak Penghasilan
Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak Penghasilan
Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak Penghasilan
Pasal 25 Rp 90.000.000.00
________________
Rp 150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan
Pajak Rp 80.000.000.00
________________
- Jumlah pajak yang
dapat dikreditkan Rp 70.000.000.00
________________
Pajak yang tidak/
kurang dibayar Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi
berupa kenaikan
sebesar 100% Rp 30.000.000.00
________________
Jumlah yang masih
harus dibayar Rp 60.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai
- Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp 60.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu Pajak
Masukan Rp 150.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut:
- Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
- Kredit Pajak:
- Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000.00
________________
- Jumlah pajak yang dapat
dikreditkan Rp 90.000.000.00
________________
Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000,00
Sanksi administrasi kenaikan
100% Rp 10.000.000.00
________________
Jumlah yang masih harus
dibayar Rp 20.000.000,00
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 17D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan
percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Pasal 17E
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Angka 24
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak
atau kurang dibayar pada saatjatuh tempo pelunasan atau
terlambat dibayar.
Contoh:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00
yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas
akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah
pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008
Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008
diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai
berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh
tempo pelunasan = Rp 6.000.000.00 (-)
__________________
Kurang dibayar = Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp 80.000,00
b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar
Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada
tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp 10.000.000.00
Dibayar setelah jatuh tempo
pelunasan = Rp 10.000.000.00
_________________
Kurang dibayar = Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) = Rp 200.000,00
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
Contoh:
a. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal
2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal
1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk
mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5
(lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk
setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00 = Rp 22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp 896.000.00 = Rp 17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp 672.000,00 = Rp 13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp 448.000.00 = Rp 8.960.00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00.
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai
dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan
pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut
sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasat 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan
tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak
memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan
dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa
tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah
tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang
milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak
dilunasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jeias.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat
Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan,
banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5
(lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan
Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak
melakukan pembayaran hutang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu,
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal
pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan
cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan
pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak.
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan
terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang
dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.
Angka 28
Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Angka 29
Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan
besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain
karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta
warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses
pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek
pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui
cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang
akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka 30
Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak,
dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari
ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau
pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan
"suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan
terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun
Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan
Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu)
surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut
harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang menjadi dasar
penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri
dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau
bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu
3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak
mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan
surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas
waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak
karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur),
tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan
bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah
kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada
saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus
dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat
keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak
diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai
Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda
terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat
sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat
dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat
sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam
batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya
yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang
kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak
berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera
dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian
dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping
itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar
sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya
menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB
tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak
mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai
dengan ayat ini, yaitu sebesar
50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak,
kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu
penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas
keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum
bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan
terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat
ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib
Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun
telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban
menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan
kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu
yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan
besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak
dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara
jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib
Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian
keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat
ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan
banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak
diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak
tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar
sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya
menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB
tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak
mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh
Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus
dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat
(9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar
100% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000.00)=Rp250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan,
pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau
Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian
atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat
Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4)
dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat
dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut,
yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jetas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya
diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan
penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan
metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu
periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila
benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi
atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran
yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat
pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan
pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu
besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan
mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu,
untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut.
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-
hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan
dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan
dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas,
yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam
hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode
kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode
penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih
dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus
diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimuiainya tahun
buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis
dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari
kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode
pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan
"garis lurus atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib
Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining
balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih
dahulu kepada Direktur jenderai Pajak yang diajukan sebelum
dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu,
perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib
Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang
bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6
(enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah
Tahun Pajak 2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September
2009 adalah Tahun Pajak 2009.
Ayat (7)
Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasal 1 angka 29.
Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan
pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya
juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat
dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah
harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor,
jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang
perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup jeias.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka
yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasitan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat
final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama
10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila
Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak,
bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap
ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line
harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,
kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan
pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak; dan/atau
b. tujuan lain dalam rangka mslaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau
di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis
pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu
maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan torhadap Wajib Pajak, termasuk
terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut
pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri
kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain,
di antaranya:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak
Pertambahan Nilai;
J. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan
fasilitas perpajakan; dan/atau
k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas
identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki
tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang
diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang
cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam
menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan
jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif
serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada
bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan
dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan
dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik
(electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri
maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus
memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses
dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain
yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang
pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki
kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat
penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan
peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain
buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan
keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau
keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
b. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan
sesuai dengan aslinya;
c. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
d. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Keterangan lisan misalnya:
a. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
b. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
c. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi
yang bersifat khusus.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang
diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan,
dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak
dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa
kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka 37
Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak
yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak
dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor.
Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana
dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat
mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan
Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan
jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak
melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat
oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b,
yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada
di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan
barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data
yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan
pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk mernperoleh buku, catatan,
dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-
benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu
memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap
tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk
mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk
data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang
dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan,
dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan
kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak
dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara
pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban
menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada
Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam
pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu
yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil
untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam
pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang
menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak
mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam
Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara
renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat
dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib
Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam
kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin
dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak
untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah
perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan
material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan daiam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa
khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya
dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun
akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan
dalam ayat ini berlaku pula bagi kornisaris dan pernegang saham
mayoritas atau pengendali.
Angka 41
Pasal 33
Dihapus.
Angka 42
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang
melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan,
antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan
pemeriksaan;
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga
yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-
undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang
dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak
dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias
Wajib Pajak meiiputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meiiputi:
a. penerimaan pajak secara nasional;
b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
c. penerimaan pajak perjenis pajak;
d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
e. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak
terdaftar;
f. register permohonan Wajib Pajak;
g. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
h. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan,
penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan
instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan
nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk
memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara
terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam
perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan
memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan
perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau
perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang
perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 43
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak
ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor
administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang
diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang
dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa
konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah
tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban
perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment,
data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang
bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak
lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan
informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau
badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran
usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan,
termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi
keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan
kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata
cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal
Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang
diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain
belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur
Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu
peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang
kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
Angka 45
Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan
kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak
yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak
memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Setain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas
permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak
benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya
karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material
terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat
dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal
Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang
dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak
tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai
dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak
dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Cukup jelas.
Ayat (1e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Angka 46
Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan
profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan
undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan
sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai
dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada
pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak,
misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang
kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah
melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai
pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana-
Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana
korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak
pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan
pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit
internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan
iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan
tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga,
kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi,
dan/atau nepotisme.
Angka 47
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36C
Cukup jelas.
Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang
dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai
sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana
di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang
dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau
kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbuikan kerugian pada pendapatan negara,
Angka 50
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat
pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang
dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan,
dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian
Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat
merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak
pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Angka 51
Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi
yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai.
Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak
merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang
sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti
pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan
dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa
penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti
pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Angka 52
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak
akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam
memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi
pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau
kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan
keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang
dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan
tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpa).
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat
dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan
karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati
untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib
Pajak.
Angka 53
Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak
ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini.
Angka 54
Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi
penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan
bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Angka 55
Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup Jeias.
Ayat (2)
Cukup jelas,
Ayat (3)
Cukup jetas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Angka 56
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang
perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak,
kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan
Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 57
Pasal 43 A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh
Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui
kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat
ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan,
atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana
di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik
tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak
pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan.
Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak
maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat
berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain
yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum
dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4740
No comments:
Post a Comment